Jumat, 06 November 2015

Kupas Tuntas Dunia Tuna Netra

Pada tulisan ini kita akan membahas sekilas tentang tuna netra, semoga bisa menambah ilmu pengetahuan dan bermanfaat untuk kita semua,amiin.   

A. Pendahuluan
Secara etimologi kata tunanetra berasal dari tuna yang berarti rusak,netra berarti mata atau penglihatan. Jadi secara umum tuna netra berarti rusak penglihatan. Tunanetra berarti buta,tetapi buta belum tentu sama sekali gelap atau sama sekali tidak dapat melihat. Ada anak buta yang sama sekali tidak ada penglihatan,anak semacam ini biasanya disebut buta total. Disamping buta total, masih ada juga anak yang mempunyai sisa penglihatan tetapi tidak dapat dipergunakan untuk membaca dan menulis huruf biasa.

B. Definisi
Tuna netra adalah seseorang yang memiliki hambatan dalam penglihatan / tidak berfungsinya indera penglihatan.
Menurut Slamet Riadi adalah “Seseorang dikatakan buta jika ia tidak dapat mempergunakan penglihatannya untuk pendidikan “(Slamet Riadi , 1984, hal. 23).
Menurut Pertuni tunanetra adalah mereka yang tidak memiliki penglihatan sama sekali (buta total) hingga mereka yang masih memiliki sisah penglihatan, tetapi tidak mampu menggunakan penglihatanya untuk membaca tulisan biasa berukuran 12 point dalam keadaan cahaya normal meski pun dibantu dengan kacamata (kurang awas).

Tuna netra menuru tSoedjadi S. (tth:23): Berdasarkan pandangan paedagogis, mereka ini kurang atau sama sekali tidak dapat menggunakan penglihatannya dalam melaksanakan tugas yang diberikan dalam pendidikan.

Menurut White Confrence pengertian tunanetra adalah sebagai berikut.
1. Seseorang dikatakan buta baik total maupun sebagian (low vision); dari ke dua matanya sehingga tidak memungkinkan lagi baginya untuk membaca sekalipun dibantu dengan kacamata.
2. Seseorang dikatakan buta untuk pendidikan bila mempunyai ketajaman penglihatan 20/200 atau kurang pada bagian mata yang terbaik setelah mendapat perbaikan yang diperlukan atau mempunyai ketajaman penglihatan lebih dari 20/200 tetapi mempunyai keterbatasan dalam lantang pandangnya sehingga luas daerah penglihatannya membentuk sudut tidak lebih dari 20 derajat.


C. Karakteristik

a. Fisik
Keadan fisik anak tunanetra tidak berbeda dengan anak sebaya lainnya.perbedaan nyata diantaranya mereka hanya terdapat pada organ penglihatannya. Gejala tunanetra yang dapat diamati dari segi fisik antara lain: mata juling, sering berkedip, menyipitkan mata, kelopak mata merah, gerakan mata tak beraturan dan cepat, mata selalu berair dan sebagainya.
b. Perilaku
1) Beberapa gejala tingkah laku pada anak yang mengalami gangguan penglihatan dini antara lain: berkedip lebih banyak dari biasanya, menyipitkan mata, tidak dapat melihat benda-benda yang agak jauh.
2) Adanya keluhan-keluhan antara lain: mata gatal, panas, pusing, kabur atau penglihatan ganda.
c. Psikis
1) Menta/Intelektual
Tidak berbeda jauh dengan anak normal. Kecenderungan IQ anak tunanetra ada pada batas atas sampai batas bawah.
2) Sosial
Kadang kala ada keluarga yang belum siap menerima anggota keluarga yang tuna netra sehingga menimbulkan ketegangan/gelisah di antara keluarga. Seorang tunanetra biasanya mengalami hambatan kepribadian seperti curiga terhadap orang lain, perasaan mudah tersinggung dan ketergantungan yang berlebihan.


D. Faktor – faktor yang menyebabkan
Faktor yang menyebabkan terjadinya ketunanetraan antara lain (DITPLB, 2006):

1. Pre-natal
Faktor penyebab ketunanetraan pada masa pre-natal sangat erat hubungannya dengan masalah keturunan dan pertumbuhan seorang anak dalam kandungan, antara lain:
a. Keturunan
Ketunanetraan yang disebabkanoleh faktor keturunan terjadi dari hasil perkawinan bersaudara, sesama tunanetra atau mempunyai orang tua yang tunanetra. Ketunanetraan akibat faktor keturunan antara lain Retinitis Pigmentosa, penyakit pada retina yang umumnya merupakan keturunan. Penyakit ini sedikit demi sedikit menyebabkan mundur atau memburuknya retina. Gejala pertama biasanyasukar melihat di malam hari, diikuti dengan hilangnya penglihatan periferal, dan sedikit saja penglihatan pusat yang tertinggal.
b. Pertumbuhan seorang anak dalam kandungan
Ketunanetraan yang disebabkan karena proses pertumbuhandalam kandungan dapat disebabkan oleh:
– Gangguan waktu ibu hamil.
– Penyakit menahun seperti TBC, sehingga merusak sel-sel darah tertentu selama
pertumbuhan janin dalam kandungan.
– Infeksi atau luka yang dialami oleh ibu hamil akibat terkena rubella atau cacar air, dapat menyebabkan kerusakan pada mata, telinga, jantung dan sistem susunan saraf pusat pada janin yang sedang berkembang.
– Infeksi karena penyakit kotor, toxoplasmosis, trachoma dan tumor. Tumor dapat
terjadi pada otak yang berhubungan dengan indera penglihatan atau pada bola mata itu sendiri.
– Kurangnya vitamin tertentu, dapat menyebabkan gangguan pada mata sehingga
hilangnya fungsi penglihatan.

2. Post-natal
Penyebab ketunanetraan yang terjadi pada masa post-natal dapat terjadi sejak atau setelah bayi lahir antara lain:
a. Kerusakan pada mata atau saraf mata padawaktu persalinan, akibat benturan alat-alat atau benda keras.
b. Pada waktu persalinan, ibu mengalami penyakit gonorrhoe, sehingga baksil gonorrhoe menular pada bayi, yang pada akhirnya setelah bayi lahir mengalami sakit dan berakibat hilangnya daya penglihatan.
c. Mengalami penyakit mata yang menyebabkan ketunanetraan, misalnya:
– Xeropthalmia; yakni penyakit mata karena kekurangan vitamin A.
– Trachoma; yaitu penyakit mata karena virus chilimidezoon trachomanis.
– Catarac; yaitu penyakit mata yang menyerang bola mata sehingga lensa mata menjadi keruh, akibatnya terlihat dari luar mata menjadi putih.
– Glaucoma; yaitu penyakit mata karena bertambahnya cairan dalam bola mata, sehingga tekanan pada bola mata meningkat.
– Diabetik Retinopathy; adalah gangguan pada retina yang disebabkan karena diabetis. Retina penuh dengan pembuluh-pembuluhdarah dan dapat dipengaruhi oleh kerusakan sistem sirkulasi hingga merusak penglihatan.
– Macular Degeneration; adalah kondisi umum yang agak baik, dimana daerah tengah dari retina secara berangsur memburuk.Anak dengan retina degenerasi masih memiliki penglihatan perifer akan tetapi kehilangan kemampuan untuk melihat secara jelas objek-objek di bagian tengah bidang penglihatan.
– Retinopathy of prematurity; biasanya anak yang mengalami ini karena lahirnya terlalu prematur. Pada saat lahir masih memiliki potensi penglihatan yang normal. Bayi yang dilahirkan prematur biasanya ditempatkan pada inkubator yang berisi oksigen dengan kadar tinggi, sehingga pada saat bayi dikeluarkan dariinkubator terjadi perubahan kadar oksigen yang dapat menyebabkan pertumbuhan pembuluh darah menjadi tidak normal dan meninggalkan semacam bekas luka pada jaringan mata. Peristiwa ini sering menimbulkan kerusakan pada selaput jala (retina) dan tunanetra total.
d. Kerusakan mata yang disebabkan terjadinya kecelakaan, seperti masuknya benda keras atau tajam, cairan kimia yang berbahaya, kecelakaan dari kendaraan, dll.
E. Gambaran Psikologis
F. Hambatan dari individu yang bersangkutan

Menurut Lowenfeld akibat ketuna netraan menimbulkan tiga macam keterbatasanya itu
(1) keterbatasan dalam hal luas dan variasi pengalaman,
(2) keterbatasan dalam bergerak atau mobilitas
(3) keterbatasan berinteraksi dengan lingkungan. Keterbatasan tersebut dapat disebabkan secara langsung maupun tidak langsung dari ketunanetraan.

1. Dampak terhadap Kognisi
Kognisi adalah persepsi individu tentang orang lain dan obyek-obyek yang diorganisasikannya secara selektif. Respon individu terhadap orang dan obyek tergantung pada bagaimana orang dan obyek tersebut tampak dalam dunia kognitifnya ,dan citra atau “peta” dunia setiap orang itu bersifat individual. Setiap orang mempunyai citra dunianya masing-masing karena citra tersebut merupakan produk yang ditentukan oleh factor-faktor berikut:
(1) Lingkungan fisik dan sosisalnya,
(2) struktur fisiologisnya
(3) keinginan dan tujuannya
(4) pengalaman-pengalaman masa lalunya.
Dari keempat factor yang menentukan kognisi individu tunanetra menyandang kelainan dalam struktur fisiologisnya, dan mereka harus menggantikan fungsi indera penglihatan dengan indera-indera lainnya untuk mempersepsi lingkungannya. Banyak di antara mereka tidak pernah mempunyai pengalaman visual, sehingga konsepsi orang awas mereka tentang dunia ini sejauh tertentu mungkin berbeda dari konsepsi orang awas pada umumnya.

2. Dampak terhadap Keterampilaan Sosial
Orang tua memainkan peranan yang penting dalam perkembangan social anak. Perlakuan orang tua terhadap anaknya yang tunanetra sangat ditentukan oleh sikapnya terhadap ketunanetraan itu, dan emosi merupakan satu komponen dari sikap di samping dua komponen lainnya yaitu kognisi dan kecenderungan tindakan. Ketunanetraan yang terjadi pada seorang anak selalu menimbulkan masalah emosional pada orang tuanya. Ayah dan ibunya akan merasa kecewa, sedih, malu dan berbagai bentuk emosi lainnya. Mereka mungkin akan merasa bersalah atau saling menyalahkan, mungkin akan diliputi oleh rasa marah yang dapat meledak dalam berbagai cara, dan dalam kasus yang ekstrem bahkan dapat mengakibatkan perceraian. Persoalan seperti ini terjadi pada banyak keluarga yang mempunyai anak cacat.Pada umumnya orang tua akan mengalami masa duka akibat kehilangan anaknya yang “normal” itu dalam tiga tahap; tahap penolakan, tahap penyesalan, dan akhirnya tahap penerimaan, meskipun untuk orang tua tertentu penerimaan itu mungkin akan tercapai setelah bertahun-tahun. Proses “duka cita” ini merupakan proses yang umum terjadi pada orang tua anak penyandang semua jenis kecacatan. Sikap orang tua tersebut akan berpengaruh terhadap hubungan di antara mereka (ayah dan ibu) dan hubungan mereka dengan anak itu, dan hubungan tersebut pada gilirannya akan mempengaruhi perkembangan emosi dan social anak.

3. Dampak terhadap Bahasa
Pada umumnya para ahlinya kin bahwa kehilangan penglihatan tidak berpengaruh secara signifikan terhadap kemampuan memahami dan menggunakan bahasa, dan secara umum mereka berkesimpulan bahwa tidak terdapat defisiensi dalam bahasa anak tunanetra.Mereka mengacu pada banyak studi yang menunjukkan bahwa siswa-siswa tunanetra tidak berbeda dari siswa-siswa yang awas dalam hasil tes intelegensi verbal. Mereka juga mengemukakan bahwa berbagai studi yang membandingkan anak-anak tunanetra dan awas tidak menemukan perbedaan dalam aspek-aspek utama perkembangan bahasa.Karena persepsi auditif lebih berperan daripada persepsi visual sebagai media belajarbahasa, maka tidaklah mengherankan bila berbagai stu ditelah menemukan bahwa anak tunanetra relatif tidak terhambat dalam fungsi bahasanya. Banyak anak tunanetra bahkan lebih termotivasi dari pada anak awas untuk menggunakan bahasa karena bahasa merupakan saluran utama komunikasinya dengan orang lain.Secara konseptual sama bagi anak tunanetra maupun anak awas, karena makna kata-kata dipelajarinya melalui konteksnya dan penggunaannya di dalam bahasa. Sebagaimana halnya dengan semua anak, anak tunanetra belajar kata-kata yang didengarnya meskipun kata-kata itu tidak terkait dengan pengalaman nyata dan tak ada makna baginya.Kalau pun anak tunanetra mengalami hambatan dalam perkembangan bahasanya, hal itu bukan semata-mata akibat langsung dari ketunanetraannya melain kanterkait dengan cara orang lain memperlakukannya. Ketunanetraan tidak menghambat pemprosesan informasi ataupun pemahaman kaidah-kaidah bahasa.

4. Dampak terhadap Orientasi dan Mobilitas
Mungkin kemampuan yang paling terpengaruh oleh ketunanetraan untuk berhasil dalam penyesuaian social individu tunanetra adalah kemampuan mobilitas yaitu ketrampilan untuk bergerak secara leluasa di dalam lingkungannya. Ketrampilan mobilitas ini sangat terkait dengan kemampuan orientasi, yaitu kemampuan untuk memahami hubungan lokasi antara satu obyek dengan obyek lainnya di dalam lingkungan (Hill dan Ponder,1976).
Para pakar dalam bidang orientasi dan mobilitas telah merumuskan dua cara yang dapat ditempuh oleh individu tunanetra untuk memmproses informasi tentang lingkungannya, yaitu dengan metode urutan (sequncial mode) yang menggambarkan titik-titik di dalam lingkungan sebagai rute yang berurutan, atau dengan metode peta kognitif yang memberikan gambar antopografis tentang hubungan secara umum antara berbagai titik di dalam lingkungan (Dodds et al dalam Hallahan dan Kaufman,1991).
Metode peta kognitif lebih direkomendasikan karena cara tersebut menawarkan fleksibilitas yang lebih baik dalam menavigasi lingkungan. Bayangkan tiga titik yang berurutan – A, B, dan C. Memproses informasi tentang orientasi lingkungan dengan metode urutan membatasi gerakan individu sedemikian rupa sehingga didapat bergerak dari A ke C hanya melalui B. Tetapi individu yang memiliki peta kognitif dapat pergi dari titik A langsung ketitik C tanpa memlalui B.
Akan tetapi, metode konseptualisasi ruang apapun , metode urutan ataupun metode peta kognitif- individu tunanetra tetap berkekurangan dalam bidang mobilitas dibandingkan dengan sebayanya yang awas. Mereka kurang mampu atau tidak mampu sama sekali menggunakan “visual metaphor” (Hallahan dan Kauffman, 1991:310) Di samping itu, para palancong tunanetra harus lebih bergantung pada ingatan untuk memperoleh gambaran tentang lingkungannya dibandingkan dengan individu yang awas (Holfield& Fouke dalam Hallahandan Kauffman, 1991)
Untuk membentuk mobilitas itu, alat bantu yang umum dipergunakan oleh orang tuna netra di Indonesia adalah tongkat, sedangkan di banyak negara barat penggunaan anjing penuntun (guide dog) juga populer. Dan penggunaan alat elektronik untuk membantu orientasi dan mobilitas individu tunanetra masih terus dikembangkan.
Agar anak tuna netra memiliki rasa percaya diri untuk bergerak secara leluasa di dalam lingkungannya bersosialisasi, mereka harus memperoleh latihan orientasi dan mobilitas. Program latihan orientasi dan mobilitas tersebut harus mencakup sejumlah komponen, termasuk kebugaran fisik, koordinasi motor, postur, keleluasaan gerak, dan latihan untuk mengembangkan fungsi indera –indera yang masih berfungsi.


E. Penanganan

A. Penanganan Tunanetra Total dari Segi Pendapatan Informasi
1. Komputer Berbicara
Khoerunnisa (2010 : 4) menyatakan bahwa Komputer Berbicara adalah Komputer dengan program JAWS. Komputer yang memudahkan penyandang tunanetra mengakses informasi dari internet maupun ketika mengetik adalah computer yang memiliki aplikasi screen reader yang disebut JAWS.
Cara kerja aplikasi screen reader yaitu komputer menerangkan tampilan yang ada pada layar monitor (screen) dengan suara. Mulai dari menu program yang tersedia, sampai menginformasikan dimana letak kursor dan menerangkan tulisan apa saja yang terbaca pada screen (membaca kata perkata maupun huruf demi huruf).
Suara yang dihasilkan oleh JAWS terkesan seperti robot yang berlogat barat. Kecepatannya pun dapat diatur, dipercepat maupun diperlambat. Program JAWS dapat juga mentranslate kata dari Bahasa Indonesia ke bahasa Inggris (saduran dari kamus Hasan Sadili). Pembrailannya pun menggunakan dua program, yaitu Duxbury dan MBC MBC (Mitra Netra Braille Conventer). Duxbury merupakan program dari luar negeri, sedangkan MBC berasal dari Indonesia. Persamaan dari keduanya adalah dapat mengubah tulisan Braille ke tulisan awas maupun sebaliknya. Namun, proses ini memilki kelemahan yaitu file yang disimpan formatnya akan berubah dan simbol-simbol khusus (misal arab dan metematika) tidak dapat dikonversikan langsung.


2. Huruf Braille
Huruf Braille ditemukan oleh Louis Braille (1809-1852), seorang guru berkebamgsaan Perancis yang mengalami kebutaan pada usia 3 tahun. Braille menemukan sistem cetakan dan tulisan khusus untuk penderita tunanetra ini pada tahun 1824 saat masih menjadi siswa pada Institution Nationale des Jeunes Aveugles (National Institute for Blind Children), Paris, Perancis.

Tulisan braille berupa huruf-huruf timbul yang sederhana dan praktis dan metoda membaca dipakai diseluruh dunia. Tulisan braille yang ditulis menonjol atau timbul di atas kertas dan dibaca dengan cara meraba secara lembut dan perlahan tulisan, terdiri atas 6 titik atau lubang dan dijadikan 2 baris, masing-masing 3 titik dari atas kebawah. Jika hanya titik pertama dari baris pertama yang timbul, itu huruf a, jika titik pertama dan kedua dari baris pertama yang timbul itu huruf b. Tulisan braille terdiri dari 63 karakter, yang meliputi huruf, angka, tanda baca, tanda ulang, huruf besar .

Pada tahun 1932, tulisan braille diakui sebagai Standard English Braille oleh perwakilan dari perkumpulan penyandang cacat netra seInggris Raya dan Amerika Serikat. Untuk melengkapi dan menyempurnakan tulisan braille, pada tahun 1065 The Nemeth Code of Braille Mathematics and Scientific Notation memodifikasi tulisan braille yang mewakili bermacam-macam simbol khusus yang digunakan untuk bidang matematika dan teknik. Di samping itu juga, masih banyak tulisan braille yang dimodifikasi untuk penulisan notasi musik, tulisan cepat (stenografi) dan macam-macam bahasa di dunia. Saat ini, tulisan tangan dengan menggunakan tulisan braille sudah dimungkinkan dengan menggunakan alat yang bernama ”slate”. Yang terdiri dari 2 buah lembaran baja, yang dihubungkan dengan menggunakan sendi yang berguna untuk memasukkan selembar kertas diantaranya.

Dari sini dapat disimpulkan bahwa tulisan penemuan Louis Braille sangat berperan penting untuk membantu para penyandang cacat netra mengatasi kendala dalam bersosialisasi dan berkomunikasi antar sesama penyandang cacat netra dan dengan masyarakat umum. Kendala ini dapat teratasi karena masalah pokok penyandang cacat netra adalah individu yang mempunyai kelainan fisik (physical handicap) yang berpengaruh terhadap fungsi sosial dan fungsi emosional, yang termanifestasi dalam bentuk gangguan kepribadian (sikap pasif dan sikap ragu) serta gangguan dalam penyesuaian diri (rendah diri, kurang berani mengenal orang lain, merasa tidak berguna). Karena tulisan braille sudah diakui sebagai standar cetakan dan tulisan bagi penyandang cacat netra, sehingga para penyandang cacat netra tidak perlu takut dan cemas untuk berkomunikasi dengan sesamanya, karena mereka mempunyai ”tilisan” sebagai akses yang bisa dipakai sebagai identitas diri, dimana hal ini nantinya akan menumbuhkan keberanian mereka untuk berkomunikasi dengan orang normal dan melakukan tugas dan fungsinya dalam masyarakat, tanpa terganggu oleh ketunaannya, sama dengan orang normal.

Jane Ware (2002 : 2) menyatakan bahwa Huruf Braille adalah kode didasarkan pada enam titik, disusun dalam dua kolom tiga titik. Ada berbagai jenis kode braille. variasi menggunakan ini dari enam titik untuk mewakili semua huruf dari alfabet, angka, tanda baca dan kelompok yang sering terjadisurat. orang buta membaca dari kiri ke kanan di halaman dengan sentuhan ringan, menggunakan satu atau kedua tangan.
Bantalan lembut jari-jari digunakan untuk merasakan titik terangkat, karena ini lebih sensitif dibandingkan dengan ujung jari. Sebagian besar pembaca braille terlihat membaca huruf braille oleh penglihatan. Jari sensitif dibutuhkan untuk membaca braille. Ukuran huruf braille yang umum digunakan adalah dengan tinggi sepanjang 0.5 mm, serta spasi horizontal dan vertikal antar titik dalam sel sebesar 2.5 m.

3. Digital Ascesible System (DAISY) Player
PlayerDigital Ascesible System (DAISY)Player. DAISY Player digunakan untuk mempermudah penyandang tunanetra untuk memperoleh informasi dari buku tertentu yang telah diubah menjadi bentuk suara. Kecepatan dan volume suara dapat diatur sedemikian rupa sesuai kebutuhan. Buku bicara yang digunakan untuk DAISY player ini berupa compact disk.

4. Buku bicara (Digital Talking Book)
Digital talking books adalah perangkat yang memungkinkan pembaca tidak hanya bisa menikmati suara audio yang dibacakan dari buku, namun juga memungkinkan pengguna untuk melewati beberapa teks untuk mencari topik atau pencarian kata tertentu. Buku-buku dioperasikan dengan menggunakan pemutar buku digital berbicara, dengan serangkaian tombol kontrol yang memungkinkan pembaca untuk manuver melalui teks di dalamnya. Ini membuktikan buku bicara lebih dari sekedar buku audio sederhana yang hanya memungkinkan pembaca untuk berhenti, mulai, dan mundur untuk mencari titik tertentu dalam presentasi.
Kemampuan untuk mengatur bookmark elektronik dapat sangat berguna, karena memungkinkan pembaca untuk berhenti bahkan di tengah bagian atau bab, dan mengambil di tempat yang sama di lain waktu. Pembaca juga dapat menggunakan fungsi untuk melewatkan sebuah paragraf membosankan, atau melakukan pencarian kata kunci. Buku bicara pada dasarnya memilki cara kerja yang hampir sama dengan buku bicara dalam bentuk compact disk (CD). Hanya saja pengoperasian kaset bicara harus menggunakan radio tape.

5. Printer Braille
Khoerunnisa (2010 : 4) menyatakan bahwa Printer Braille memiliki cara kerja yang mirip dengan printer dot matrix. Proses pencetakan dilakukan dengan cara pengetukan pada kertas, sehingga printer ini lebih bersuara jika dibandingkan dengan printer tinta. Printer braille terdiri dari dua tipe, yaitu COMET dan BRAILLO NORWAY (tipe 200 dan 400). Perbedaan dari dua tipe ini terletak pada hasil cetakannya. Printer COMET hanya dapat mencetak dari dua sisi (satu muka), sedangkan BRAILLO NORWAY dapat mencetak dua sisi (bolak-balik).

6. Termoform
Termoform merupakan mesin pengganda (copy) bacaan penyandang tunanetra dengan penggunakan kertas khusus, yaitu braillon.

7. Telesensory
Telesensory merupakan suatu alat yang digunakan untuk memperbesar huruf awas agar terbaca oleh penderita tunanetra low vision.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pelayanan pengguna tunanetra adalah memberikan layanan kepada penyadang tunanetra dengan memberikan fasilitas buku secara manual yaitu buku braille maupun teknologi seperti komputer berbicara, buku elektronik,yang menggunakan program jaws. Dengan adanya layanan berbasis teknologi, diharapkan dapat memfasilitasi penyandang tunanetra untuk mengakses informasi.

B. Penanganan Tunanetra Total dari Segi Mobilitas
Adanya ketunanetraan pada seseorang, secara otomatis ia akan mengalami keterbatasan. Keterbatasan itu adalah dalam hal:
(1) memperolah informasi dan pengalaman baru,
(2) dalam interaksi dengan lingkungan, dan
(3) dalam bergerak serta berpindah tempat (mobilitas).
Oleh karena itu, dalam perkembangannya seorang anak tunanetra mengalami hambatan atau sedikit terbelakang mobilitasnya bila dibandingkan dengan anak normal yang awas.


1. Dampak Ketunanetraan terhadap Motorik dan Mobilitas

Rogow (Hadi, 2005) mengemukakan bahwa anak tunanetra memiliki kesulitan gerak berupa:
a. Spasticity yang ditunjukkan oleh lambatnya bergerak, kesulitan, dan koordinasi gerak yang buruk;
b. Dyskinesia yaitu adanya aktivitas gerak yang tak disengaja, gerak athetoid, gerak tak terkontrol, tak beraturan, gerakan patah-patah, dan berliku-liku;
c. Ataxia yaitu koordinasi yang buruk pada keseimbangan postur tubuh, orientasi terbatas, oleh akibat kekakuan atau ketidakmampuan dalam menjaga keseimbangan;
d. Mixed Types merupakan kombinasi pola-pola gerak dyskitenik, spastic, dan ataxic;
e. Hypotonia ditunjukkan oleh kondisi lemahnya otot-otot dalam merespon stimulus dan hilangnya gerak refleks;
Jan et al. (Kingsley, 1999)) mengemukakan bahwa anak-anak yang mengalami ketunanetraan yang parah dengan sistem saraf yang sehat, yang belum pernah diberi kesempatan cukup memadai untuk belajar keterampilan motorik, sering mengalami keterlambatan dalam perkembangannya. Sering kali mereka lemah, daya koordinasinya buruk, berjalannya goyah, dan kedua belah kakinya senantiasa “bertukar tempat”.
Apabila berjalan kakinya diseret dan tangannya menjulur ke depan. Best (1992) mengemukakan bahwa anak-anak tunanetra tidak dapat dengan mudah memantau mobilitasnya (gerakannya) dan oleh karenanya dapat mengalami kesulitan dalam memahami apa yang terjadi bila mereka menggerakkan atau merentangkan anggota tubuhnya, membungkukkan atau memutar tubuhnya. Karena mereka tidak dapat melihat gerakan orang lain dengan jelas, mereka tidak bisa mengamati bagaimana orang duduk, berdiri, dan berjalan serta kemudian menirukannya. Maka mereka akan memiliki lebih sedikit kerangka acuan/pola (term of reference), dan mungkin tidak akan menyadari apa artinya “duduk tegak”, berjalan kaki melangkah dan tangan diayun, sehingga terjadi keserasian gerak antara kaki, tangan, dan tubuh ketika sedang berjalan.

Dampak lain ketunanetraan dapat dilihat pada postur tubuh dan gaya jalan. Akibat ketunanetraan biasanya ia berjalan dengan kaki diseret karena ingin menditeksi jalan yang berlubang, tangan menjulur ke depan karena kalau menabrak sesuatu lebih baik tangan dulu yang menabrak daripada kepala, perut ke depan agar dapat menopang tubuh secara keseluruhan. Kondisi seperti ini akan membentuk Gaya jalan dan postur tubuh yang jelek, dada dan bahu menyempit, postur tubuh bungkuk, kaki bengkok, dll. Kondisi ini tidak bisa dibiarkan begitu saja. Perlu penanganan yang tepat dan profesional.
Oleh karena itu tanpa intervensi dan pembinaan mobilitas/gerak yang tepat, benar, dan utuh anak tunanetra tidak akan memiliki mobilitas yang baik. Secara psikologis akan menimbulkan rasa tidak percaya diri.
2. Program Pembinaan Gerakan Tubuh

a. Rileksasi
Rileksasi, santai atau tidak ada ketegangan adalah pengendoran otot-otot dalam rangka menghilangkan segala macam ketegangan. Rileksasi dapat dikondisikan dengan cara menciptakan suasana santai yang bebas dari kebisingan dan keramaian serta bebas dari segala hambatan. Rileksasi perlu dilakukan secara kontinu dengan memilih waktu dan tempat yang mendukung. Dapat diprogramkan misalnya seminggu sekali.

b. Postur Tubuh
Anak tunanetra perlu diberi pembinaan latihan postur tubuh yang baik. Perlu diinformasikan kepada tunanetra pentingnya postur tubuh yang baik bagi penampilan dan pergaulan serta interaksi sosial. Jika postur tubuh yang baik tidak diinformasikan kepada tunanetra, mungkin mereka akan beranggapan bahwa orang lain di luar dirinya kalau berjalan kepalanya miring, perut ke depan, dsb. Pembinaan ini perlu dilakukan secara kontinu dan melibatkan semua orang yang ada di lingkungan tunanetra di mana mereka berada.

c. Keseimbangan
Kehilangan penglihatan dapat berdampak kepada tidak adanya keseimbangan. Sehingga tunanetra goyah dalam berjalan, kaki seperti ada per-nya, jalannya kaku, kaki dan tangan kaku, tidak luwes, serasi dan harmonis. Oleh karena itu tunanetra perlu dilatih keseimbangan secara kontinu.

d. Gerakan Non Lokomotor
Gerakan non lokomotor adalah gerakan anggota tubuh dengan tidak berpindah tempat. Jenis-jenis gerakan yang dapat dilatihkan antara lain:

a. Gerakan persendian;

b. Gerakan berputar;

c. Mengkondisikan gerakan: lentur, bervariasi, ada tempo, keseimbangan, posisi tubuh dengan lingkungan, gerakan membuka dan menutup, ukuran gerak, bentuk gerakan dan menyadari gerakan tersebut.

e. Gerakan Lokomotor
Yaitu gerakan anggota tubuh dengan berpindah tempat. Latihan yang disarankan antara lain: rileks, bervariasi, ada tempo, arah, tempat bergerak, berjalan secara pelan-pelan, mengatur jarak gerak, dan kesadaran bergerak. Apabila semua itu dapat dilakukan maka akan terjadi irama gerak yang serasi dan luwes. Gerakan lokomotor ini perlu dilatihkan kepada tunanetra dengan terjadwal, diulang-ulang, melakukan, dan berkelanjutan.

f. Gerakan Akrobatik dan Senam
Gerakan-gerakan akrobatik dan senam perlu dilatihkan kepada tunanetra. Misalnya: menendang bola, memukul gamelan, berenang, melompat, dsb.


F. Langkah – langkah pendidikan

Langkah – langkah pendidikan

Program bimbingan, pengajaran, dan latihan di sekolah yang berkaitan dengan
kebutuhan interaksi sosial anak tunanetra dapat diberikan guru dalam bentuk :

1. Bimbingan untuk mengenal situasi sekolah, baik dari sisi fisik bangunan maupun
dari sisi interaksi orang per-orang.

2. Menumbuhkembangkan perasaan nyaman, aman, dan senang dalam lingkungan barunya.

3. Melatih kepekaan indera-indera tubuh yang masih berfungsi sebagai bekal pemahaman kognitif, afektif dan psikomotornya.

4. Melatih keberanian anak tunanetra untuk mengenal hal-hal baru, terutama hal-hal
yang tidak ia temui ketika berada di rumah.

5. Menumbuhkan kepercayaan diri dan kemandirian dalam berkomunikasi dan melakukan kontak.

6. Melatih mobilitas anak untuk mengembangkan kontak-kontak sosial yang akan
dilakukan dengan teman sebaya.

7. Memberikan pendidikan etika dan kesantunan berkaitan dengan adat dan kebiasaan
yang berlaku dalam suatu daerah. Pendidikan etika yang berlaku di rumah dapat
berbeda ketika anak tunanetra masuk dalam lingkungan baru dengan beragam kepribadian individu.

8. Mengenalkan anak tunanetra dalam beragam karakter interaksi kelompok. Hal ini
dapat memberikan pemahaman bahwa tiap kelompok memiliki karakter interaksi yang berbeda. Misalnya kelompok anak-anak kecil, kelompok remaja, atau kelompok orang dewasa.Interaksi sosial yang baik maupun yang kurang baik merupakan proses yang tidak diturunkan bagi anak tunanetra, melainkan diperoleh melalui proses belajar, bimbingan dan latihan. Pengaruh internal maupun eksternal yang positif dan negatif, secara langsung atau tidak langsung akan mempengaruhi anak tunanetra dalam berinteraksi. Untuk menghindari terjadinya perilaku yang kurang baik pada anak tunanetra dalam bergaul perlu ditanamkan kemauan yang kuat. Kemauan yang kuat pada diri anak tunanetra dapat menimbulkan kepercayaan pada diri. Anak tunanetra juga dapat membedakan antara perilaku yang baik dan kurang baik dalam berinteraksi dengan lingkungannya melalui program pengembangan interaksi sosial.


Source :

- https://dianitaawulan.wordpress.com/2013/06/29/makalah-tuna-netra/