Sabtu, 11 Juli 2015

Sejarah Pendidikan Penyandang Disabilitas di Eropa

Sejarah Pendidikan Penyandang Disabilitas di Eropa

       Mengenai pendidikan bagi orang dengan berbagai jenis kecacatan, gambaran umum sejarah menunjukkan adanya perkembangan dari upaya-upaya pendidikan yang sporadis, ke keingintahuan filosofis, hingga didirikannya sekolah-sekolah khusus serta lembaga khusus lainnya. Dari sejarah, kita dapat melihat kilasan-kilasan tentang berbagai kondisi para penyandang cacat mulai dari zaman Mesir Kuno, Yunani kuno, Injil dan Qur’an, dan sejumlah teks abad ke-18. Serpihan-serpihan dokumentasi itu memberi kesan tentang adanya sikap yang mendua, antara perawatan, kasih sayang dan minat pada satu pihak, dan, di pihak lain, kurangnya tanggung jawab, eksklusi dan kecenderungan yang meningkat untuk mengelompokkan orang berdasarkan jenis kecacatannya. Tidak mengherankan bahwa dokumentasi tentang upaya-upaya pendidikan itu hanya merupakan sebagian kecil dari informasi yang ada mengenai orang-orang yang menyandang kecacatan, mengingat bahwa pendidikan formal merupakan hak istimewa bagi sebagian kecil orang pada awal sejarah.

       Model huruf ukiran untuk orang tunanetra ditemukan pada zaman Mesir kuno, dan juga pada zaman Renaissance di Eropa ketika Erasmus dari Rotterdam (1469- 1536) juga menggunakan alfabet ukiran dalam pelatihan keterampilan menulis bagi siswa-siswa yang awas. Informasi lain mengatakan bahwa sejak abad kelima telah ada berbagai kelompok orang tunanetra yang dapat mencukupi dirinya sendiri dan yang mengatur pelatihan pekerjaan internal. Satu contoh tentang mengajarkan membaca bibir kepada orang tunarungu ditemukan di Keuskupan York pada abad kedelapan. Namun, menurut Enerstvedt (1996), pengetahuan mengenai cara mendidik orang yang tunarungu berat mulai disebarkan dari apa yang disebut “revolusi Spanyol yang tidak begitu terkenal” ke berbagai bagian benua Eropa lainnya dan kepulauan Inggris pada akhir abad ke-16.

       Bagaimana orang dapat belajar jika satu indera tidak berfungsi? Girolam Cardano (1501- 1576) memperkenalkan pendapat bahwa indera-indera itu saling menggantikan, sehingga bila indera penglihatan atau pendengaran hilang, indera lain akan berfungsi sebagai dasar bagi aktivitas kognitif dan belajar (Befring 1994; Enerstvedt 1886). Ketika filosof empiris Inggris John Locke (1632-1704), memfokuskan kembali tentang pentingnya fungsi indera-indera untuk belajar dan pemahaman, pandangannya menjadi titik awal bagi rasa ingin tahu filosofi baru dan sedikit demi sedikit juga minat pendidikan. Metode pengajaran bagi orang yang menyandang ketunarunguan dan ketunanetraan berat muncul dalam agenda resmi. Paris menjadi tuan rumah yang baik bagi perkembangan berbagai pendekatan khusus, dan minat orang meluas untuk juga mencakup perlakuan bagi penyakit jiwa dan gangguan perkembangan yang parah. Dari Paris gagasan tentang pendidikan khusus menyebar ke seluruh Eropa dan benua lain.

       Charles-Michel de l’Epée (1712-1789) mendirikan sekolah khusus pertama bagi tunarungu di Paris pada tahun 1770. Dia mendasari pengajarannya pada metode holistik dengan penggunaan bahasa isyarat sebagai komponen sentral. Upaya ini dilanjutkan oleh sejumlah sekolah lain di seluruh Eropa dengan menggunakan berbagai metode pengajaran lain. Ketidaksepakatan mengenai metodologi menjadi ciri yang kekal sejak awal hingga zaman kita sekarang ini. Di Jerman Samuel Heinicke (1727-1790) dan penerusnya, Friedrich Hill (1805-1874) mendapatkan inspirasinya dari ahli pendidikan tua Comenius dan Pestalozzi, ketika mereka mengembangkan yang disebut sebagai “metode oral”. Metode tersebut berpengaruh besar pada awal perkembangan pendidikan bagi tunarungu di Norwegia, bersaing dengan sekolah khusus pertama bagi orang tunarungu di mana bahasa isyarat merupakan pendekatan komunikasi yang utama. Denmark adalah negara Nordik pertama dengan sekolah khusus bagi tunarungu, yang pertama didirikan di kota Libeck, yang ketika itu bagian dari Denmark. Di Kopenhagen, anak seorang pastor dari Norwegia, Peter A. Castberg (1779-1823) mendirikan Lembaga Kerajaan bagi orang tuli-bisu pada tahun 1807. Dia juga adalah kekuatan penggerak yang berada di balik Undang-undang Pendidikan bagi Tunarungu Denmark, undang-undang semacam ini yang pertama di dunia. Salah seorang siswa Castberg, Andreas C. Møller (1796-1874) yang dia sendiri juga tunarungu, mendirikan sekolah pertama semacam ini di Norwegia pada tahun 1825, diikuti oleh beberapa sekolah lain pada tahun 1850-an.

       Valentin Haüy (1745-1822) mendirikan sekolah khusus pertama bagi tunanetra di Paris pada tahun 1784, dengan bantuan keuangan dari masyarakat philanthropic yang baru didirikan. Beberapa sekolah seperti ini dibuka di sejumlah negara Eropa lainnya. Swedia adalah salah satu negara Nordik pertama, ketika Pär Aron Berg (1776-1839) membuka sebuah sekolah bagi siswa yang tunanetra dan tunarungu pada tahun 1809. Di Norwegia, lembaga pertama bagi orang tunanetra dibuka pada tahun 1861.
Di Paris, lebih dari sekedar ketunarunguan dan ketunanetraan yang telah menarik perhatian dokter, pendeta dan pendidik. Ibu kota Perancis merupakan pusat aktivitas perintis yang menangani berbagai jenis kecacatan dan kebutuhan khusus, yang saling mengkontribusikan gagasan. Pada masa itu orang yang dianggap gila dikurung di tempat yang disebut sebagai rumah sakit bersama dengan kriminal, gelandangan dan tahanan politik. Philippe Pinel (1745-1826) membebaskan mereka dan dia mulai memberikan perlakuan, bukan sekedar memenjarakannya. Sejak saat itu, menjadi hal yang sangat penting untuk mendiagnosis dan mengkategorikan berbagai kondisi, seperti perbedaan antara penyakit jiwa dan kelainan perkembangan atau ketunagrahitaan berat. Seorang murid Pinel, Jean Etienne Esquirol (1782-1840) membuka perdebatan yang kini masih berlangsung hangat mengenai “nature” versus “nurture”. Pertanyaan yang esensial adalah apakah penyebab kelainan perkembangan tertentu adalah herediter/bawaan atau lingkungan/dapatan – suatu perdebatan yang kini telah menjadi penting lagi setelah dihasilkan temuan-temuan baru dalam studi tentang genetika.

       Murid Pinel yang lain, Jean M. G. Itard (1774-1838) melakukan sebuah upaya yang menjadi simbol bagi titik awal pendidikan bagi anak tunagrahita, ketika dia menyelenggarakan program pendidikan bagi “anak liar dari Aeyron”. Dia menangani seorang anak laki-laki yang tampaknya telah hidup di hutan tanpa kontak dengan manusia bertahun-tahun. Ada yang mengatakan serigala yang memeliharanya. Itard mempraktekan eksperimen pendidikannya selama lima tahun dan menulis laporan rinci, mendokumentasikan bahwa anak tersebut belajar beberapa hal. Namun, karena anak tersebut tidak berhasil belajar berbicara, dia menganggap intervensinya gagal.

       Ketika Edward Seguin (1812-1880) beberapa tahun kemudian mulai mengajar seorang anak laki-laki yang tunagrahita dengan bantuan dari Itard dan Esquirol, Seguin menjadi pendiri sebuah sekolah khusus bagi anak tunagrahita. Dia tidak hanya mencari inspirasi dari pergerakan pendidikan khusus sebelumnya di Paris, tetapi juga dari pemikiran-pemikiran pendidikan umum Comenius, Locke dan Rousseau, juga dari filsafat dan agama Kristen. Dengannya dimulailah era eksperimen pendidikan yang optimistik dalam bidang ketunagrahitaan, yang tersebar luas ke beberapa negara Eropa dan Amerika Serikat, karena Seguin mengembangkan karyanya lebih lanjut di “Dunia Baru” di seberang lautan Atlantik (Askildt & Johnsen 2001).
 
 
 

Sumber:
 
 
http://miftahinginberbagi.wordpress.com/2010/03/14/sejarah-pendidikan-kebutuhan-khusus-menuju-inklusi-dalam-kontek-norwegia-dan-eropa/

Selasa, 07 Juli 2015

Undang - Undang RI No. 4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat


UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 4 TAHUN 1997
TENTANG
PENYANDANG CACAT

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang:
a.              bahwa dalam pelaksanaan pembangunan nasional yang bertujuan mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, penyandang cacat merupakan bagian masyarakat Indonesia yang juga memiliki kedudukan, hak, kewajiban, dan peran yang sama;
b.              bahwa penyandang cacat secara kuantitas cenderung meningkat dan, oleh karena itu, perlu semakin diupayakan peningkatan kesejahteraan sosial bagi penyandang cacat;
c.              bahwa dalam rangka terwujudnya kesamaan kedudukan, hak, kewajiban, dan peran sebagaimana tersebut di atas, dipandang perlu memberikan landasan hukum bagi upaya peningkatan kesejahteraan sosial penyandang cacat di segala aspek kehidupan dan penghidupan dalam suatu Undang-undang.

Mengingat:
Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945.

Dengan Persetujuan:
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA,

MEMUTUSKAN:

Menetapkan:
UNDANG-UNDANG TENTANG PENYANDANG CACAT

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan:
(1)            Penyandang cacat adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan/atau mental, yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan secara selayaknya, yang terdiri dari:
a.              penyandang cacat fisik;
b.              penyandang cacat mental;
c.              penyandang cacat fisik dan mental.
(2)            Derajat kecacatan adalah tingkat berat ringannya keadaan cacat yang disandang seseorang.
(3)            Kesamaan kesempatan adalah keadaan yang memberikan peluang kepada penyandang cacat untuk mendapatkan kesempatan yang sama dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan.
(4)            Aksesibilitas adalah kemudahan yang disediakan bagi penyandang cacat guna mewujudkan kesamaan kesempatan dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan.
(5)            Rehabilitasi adalah proses refungsionalisasi dan pengembangan untuk memungkinkan penyandang cacat mampu melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar dalam kehidupan masyarakat.
(6)            Bantuan sosial adalah upaya pemberian bantuan kepada penyandang cacat yang tidak mampu yang bersifat tidak tetap, agar mereka dapat meningkatkan taraf kesejahteraan sosialnya.
(7)            Pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial adalah upaya perlindungan dan pelayanan yang bersifat terus menerus, agar penyandang cacat dapat mewujudkan taraf hidup yang wajar.

BAB II
LANDASAN, ASAS, DAN TUJUAN

Pasal 2
Upaya peningkatan kesejahteraan sosial penyandang cacat berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

Pasal 3
Upaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 berasaskan keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, manfaat, kekeluargaan, adil dan merata, keseimbangan, keserasian dan keselarasan dalam perikehidupan, hukum, kemandirian, dan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Pasal 4
Upaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 yang diselenggarakan melalui pemberdayaan penyandang cacat bertujuan terwujudnya kemandirian dan kesejahteraan.

BAB III
HAK DAN KEWAJIBAN

Pasal 5
Setiap penyandang cacat mempunyai hak dan kesempatan yang sama dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan.

Pasal 6
Setiap penyandang cacat berhak memperoleh:
1.              pendidikan pada semua satuan, jalur, jenis, dan jenjang pendidikan;
2.              pekerjaan dan penghidupan yang layak sesuai dengan jenis dan derajat kecacatan, pendidikan, dan kemampuannya;
3.              perlakuan yang sama untuk berperan dalam pembangunan dan menikmati hasil-hasilnya;
4.              aksesibilitas dalam rangka kemandiriannya;
5.              rehabilitasi, bantuan sosial, dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial; dan
6.              hak yang sama untuk menumbuhkembangkan bakat, kemampuan, dan kehidupan sosialnya, terutama bagi penyandang cacat anak dalam lingkungan keluarga dan masyarakat.

Pasal 7
(1)            Setiap penyandang cacat mempunyai kewajiban yang sama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
(2)            Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pelaksanaannya disesuaikan dengan jenis dan derajat kecacatan, pendidikan, dan kemampuannya.

Pasal 8
Pemerintah dan/atau masyarakat berkewajiban mengupayakan terwujudnya hak-hak penyandang cacat.

BAB IV
KESAMAAN KESEMPATAN

Pasal 9
Setiap penyandang cacat mempunyai kesamaan kesempatan dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan.

Pasal 10
(1)            Kesamaan kesempatan bagi penyandang cacat dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan dilaksanakan melalui penyediaan aksesibilitas.
(2)            Penyediaan aksesibilitas dimaksudkan untuk menciptakan keadaan dan lingkungan yang lebih menunjang penyandang cacat dapat sepenuhnya hidup bermasyarakat.
(3)            Penyediaan aksesibilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau masyarakat dan dilakukan secara menyeluruh, terpadu, dan berkesinambungan.

Pasal 11
Setiap penyandang cacat mempunyai kesamaan kesempatan untuk mendapatkan pendidikan pada satuan, jalur, jenis, dan jenjang pendidikan sesuai dengan jenis dan derajat kecacatannya.

Pasal 12
Setiap lembaga pendidikan memberikan kesempatan dan perlakuan yang sama kepada penyandang cacat sebagai peserta didik pada satuan, jalur, jenis, dan jenjang pendidikan sesuai dengan jenis dan derajat kecacatan serta kemampuannya.

Pasal 13
Setiap penyandang cacat mempunyai kesamaan kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan sesuai dengan jenis dan derajat kecacatannya.

Pasal 14
Perusahaan negara dan swasta memberikan kesempatan dan perlakuan yang sama kepada penyandang cacat dengan mempekerjakan penyandang cacat di perusahaannya sesuai dengan jenis dan derajat kecacatan, pendidikan, dan kemampuannya, yang jumlahnya disesuaikan dengan jumlah karyawan dan/atau kualifikasi perusahaan.

Pasal 15
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, Pasal 12, dan Pasal 14 diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

BAB V
UPAYA

Pasal 16
Pemerintah dan/atau masyarakat menyelenggarakan upaya:
1.              rehabilitasi;
2.              bantuan sosial;
3.              pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial.

Pasal 17
Rehabilitasi diarahkan untuk memfungsikan kembali dan mengembangkan kemampuan fisik, mental, dan sosial penyandang cacat agar dapat melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar sesuai dengan bakat, kemampuan, pendidikan, dan pengalaman.

Pasal 18
(1)            Rehabilitasi dilaksanakan pada fasilitas yang diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau masyarakat.
(2)            Rehabilitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi rehabilitasi medik, pendidikan, pelatihan, dan sosial.
(3)            Ketentuan mengenai penyelenggaraan rehabilitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 19
Bantuan sosial diarahkan untuk membantu penyandang cacat agar dapat berusaha meningkatkan taraf kesejahteraan sosialnya.

Pasal 20
(1)            Bantuan sosial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 diberikan kepada :
a.              penyandang cacat yang tidak mampu, sudah direhabilitasi, dan belum bekerja;
b.              penyandang cacat yang tidak mampu, belum direhabilitasi, memiliki keterampilan, dan belum bekerja.
(2)            Ketentuan mengenai bentuk, jumlah, tata cara, dan pelaksanaan pemberian bantuan sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 21
Pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial diarahkan pada pemberian perlindungan dan pelayanan agar penyandang cacat dapat memelihara taraf hidup yang wajar.

Pasal 22
(1)            Pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 diberikan kepada penyandang cacat yang derajat kecacatannya tidak dapat direhabilitasi dan kehidupannya bergantung pada bantuan orang lain.
(2)            Ketentuan mengenai bentuk, tata cara, dan syarat-syarat pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

BAB VI
PEMBINAAN DAN PERAN MASYARAKAT

Pasal 23
(1)            Pemerintah dan masyarakat melakukan pembinaan terhadap upaya peningkatan kesejahteraan sosial penyandang cacat.
(2)            Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup segala aspek kehidupan dan penghidupan.

Pasal 24
Pemerintah melakukan pembinaan terhadap upaya peningkatan kesejahteraan sosial penyandang cacat melalui penetapan kebijakan, koordinasi, penyuluhan, bimbingan, bantuan, perizinan, dan pengawasan.

Pasal 25
(1)            Masyarakat melakukan pembinaan melalui berbagai kegiatan dalam upaya peningkatan kesejahteraan sosial penyandang cacat.
(2)            Masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk berperan dalam upaya peningkatan kesejahteraan sosial penyandang cacat.

Pasal 26
Ketentuan mengenai pembinaan dan peran masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 dan Pasal 25 diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 27
(1)            Pemerintah memberikan penghargaan kepada perusahaan yang mempekerjakan penyandang cacat.
(2)            Penghargaan diberikan juga kepada lembaga, masyarakat, dan/atau perseorangan yang berjasa dalam upaya peningkatan kesejahteraan sosial penyandang cacat.
(3)            Ketentuan mengenai pemberian penghargaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

BAB VII
KETENTUAN PIDANA

Pasal 28
(1)            Barang siapa dengan sengaja melakukan pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 14 diancam dengan pidana kurungan selama-lamanya 6 (enam) bulan dan/atau pidana denda setinggi-tingginya Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
(2)            Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelanggaran.

BAB VIII
SANKSI ADMINISTRASI

Pasal 29
(1)            Barang siapa tidak menyediakan aksesibilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 atau tidak memberikan kesempatan dan perlakuan yang sama bagi penyandang cacat sebagai peserta didik pada satuan, jalur, jenis, dan jenjang pendidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dikenakan sanksi administrasi.
(2)            Bentuk, jenis, dan tata cara pengenaan sanksi administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 30
Dengan berlakunya Undang-undang ini, semua peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan penyandang cacat yang telah ada, masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan/atau belum diganti atau diubah berdasarkan Undang-undang ini.

BAB X
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 31
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.


Disahkan Di Jakarta,
Pada Tanggal 28 Februari 1997
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
SOEHARTO

Diundangkan Di Jakarta,
Pada Tanggal 28 Februari 1997
MENTERI NEGARA/SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA
Ttd.
MOERDIONO

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1997 NOMOR 9

Kamis, 02 Juli 2015

Dasar Hukum untuk Difabel / ABK



Dasar Hukum untuk Difabel / ABK


       Difabel ( different abilities people ) sering diartikan sebagai orang-orang dengan kemampuan yang berbeda atau lebih sering disebut sebagai ABK ( Anak berkebutuhan khusus ) sangat perlu mendapatkan perhatian dari orang-orang disekitarnya khususnya pemerintah. Pemerintah memberikan perlakuan sama kepada semua anak Indonesia tanpa diskriminasi, untuk itu dibuatlah dasar hukum untuk melindungi mereka, yaitu :

1.      UUD 1945 Pasal 28 C (1).
Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi , seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.

2.      UUD 1945 Pasal 31 (1).
Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan.

3.      Pasal 1 (2) UU Sisdiknas.
Pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman.

4.      Pasal 4 (1) UU Sisdiknas.
Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak azasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.

5.      Pasal 5 UU Sisdiknas mengenai Hak dan Kewajiban Warga Negara.
(1) Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu.
(2) Warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus.

6.      UU no. 4 tahun 1997 Pasal 6 tentang penyandang cacat.
( Untuk lebih jelasnya tentang UU ini insya Allah akan kita tulis pada kolom tersendiri di blog ini, redaksi ).

7.      Pasal 15 UU no. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas ( Sistim Pendidikan Nasional ), bahwa jenis pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus adalah pendidikan khusus.

8.      Pasal 32 ( 1 ) UU no. 20 tahun 2003 memberikan batasan bahwa bahwa pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial, dan /  atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa.

9.      PP no. 17 tahun 2010 Pasal 129 ( 3 ) menetapkan bahwa Peserta didik berkelainan terdiri atas peserta didik yang : a.tunanetra; b.tunarungu; c.tunawicara; d.tunagrahita; . e.tunadaksa; f.tunalaras; g.berkesulitan belajar; h.lamban belajar; i.autis; j.memiliki gangguan motorik; k.menjadi korban penyalahgunaan narkotika, obat terlarang, dan zat adiktif lainnya; dan l.memiliki kelainan lain.

10.  Pasal 130 (1) PP no. 17 tahun 2010. Pendidikan khusus bagi peserta didik berkelainan dapat diselenggarakan pada semua jalur dan jenis pendidikan pada jenjang pedidikan dasar dan menengah.

11.  Pasal 130 (2) PP no. 17 tahun 2010. Penyelenggaraan pendidikan khusus dapat dilakukan melalui satuan pendidikan khusus, satuan pendidikan umum, satuan pendidikan kejuruan, dan / atau satuan pendidikan keagamaan.

12.  Pasal 133 ayat (4) PP no.17 tahun 2010. Menetapkan bahwa Penyelenggaraan satuan pendidikan khusus dapat dilaksanakan terintegrasi antar jenjang pendidikan dan/ atau antar jenis kelainan.


Lembaga / Satuan Pendidikan khusus di Indonesia disebut SLB ( Sekolah Luar Biasa ). 

v  SLB – A. Tunanetra.
v  SLB – B. Tunarungu.
v  SLB – C. Tunagrahita.
v  SLB – D. Tunadaksa.
v  SLB – E. Tunalaras.
v  SLB – G. Cacat ganda.






Daftar Pustaka :

  1. https://id.m.wikipedia.org/wiki/Anak_berkebutuhan_khusus
  2. https://lifesupportalcheemist.wordpress.com/difabel-dan-pendidikan
  3. www.kpai.go.id/hukum/undang-undang-uu-ri-no-4-tahun-1997-tentang-penyandang-cacat/
  4. m.hukumonline.com/h pusatdata/detail/416/nprt/uu-no-4-tahun-1997-penyandang-cacat
  5. www.kompasiana.com/afifz/sedikit-tulisan-mengenai-penyandang-cacat 55122462a33311c356ba71