Rabu, 16 September 2015

Sejarah Pendidikan Khusus di Indonesia

Bagian 1

PENDIDIKAN LUAR BIASA  DI INDONESIA  


 Sikap Masyarakat terhadap Penyandang Cacat 
  
       Tidak satupun negara di belahan dunia ini yang  terbebas dari penyandang cacat. Artinya setiap negara, baik negara itu telah maju maupun sedang berkembang, miskin atau kaya, besar atau kecil, dapat dipastikan ada sejumlah warga negaranya yang menyandang cacat.  Kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan serta kesejahteraan masyarakat suatu bangsa tidak menjamin terbebaskannya negara tersebut dari warganya yang cacat. Lagi pula besar kecilnya prosentasi penyandnag cacat di suatu negara dapat dikatakan  tidak berubah secara signifikan dari tahu ke tahun. Dengan kata lain penyendang cacat, dari dulu hingga sekarang, selalu ada di setiap negara. Oleh karena itu setiap negara, secara langsung maupun tidak, akan selalu memiliki tantangan berkaitan dengan  isu-isu penanganan atau pelayanan terhadap warga negaranya  yang menyandang kecacatan.   Pengalaman dalam memberikan layanan atau penanganan terhadap warga negaranya yang menyandang kecacatan, setiap negara sangat bervariasi dari waktu ke waktu. Meskipun demikian secara umum perlakuan masyarakat terhadap penyandang cacat dapat dikategorikan dalam tiga tahap utama yaitu masa disiasiakan, dilindungi, dan dilatih atau dididik. Pada tahap pertama kelahiran atau keberadaan penyandang cacat dipandang sebagai kutukan atau akibat dosa seseorang sehingga menimbulkan aib bagi keluarganya khususnya orang tua.   Dalam kondisi semacam ini, masyarakat cenderung ingin meniadakan penyandang cacat denga cara disembunyikan, dibuang, bahkan sampai dibunuh. Sedangkan pada tahap dilindungi, mereka masih ada perasaan tidak nyaman dengan kehadiran penyandang cacat tetapi merasa keberadaannya tidak dapat dipungkiri sehingga anak-anak semacam ini perlu diberi hak hidup dengan cara melindungi mereka. Pada tahap yang lebih baik, selanjutnya mereka tidak saja dilindungi tetapi mereka yakin bahwa mreka dapat diberikan latihan-latihan tertentu sesuai dengan potensinya sebagai manusia.    Pada abad pertengahan para penyendang cacat masih bernasib buruk meskipun pengakuan hak untuk hidup bagi mereka telah diakui. Banyak penyandang cacat belum dapat hidup selayaknya seperti orang pada umumnya, penyendang cacat hidup dengan bergantung dengan belas kasihan orang lain dengan cara memintaminta, menjadi pengamen. Meskipun beberapa di antara penyandang cacat memiliki keterampilan musik misalnya, keterampilan ini sringkali tidak dimanfaatkan sebagaiman mestinya. Masyarakat lebih cenderung  memandang kecacatannya yang lebih menimbulkan belas kasihan.   Di Amerika Serikat, perlakuan terhadap penyandang cacat tidak berbeda secara mendasar dengan masyarakat di negara lain. Pada mulanya tidak ada konsesnsus umum bahwa  penyendang cacat memerlukan pendidikan. Mereka di simpan (disembunyikan) di rumah-rumah  atau di kumpulkan di rumah penampungan orang miskin atau pusat-pusat amal lainnya tanpa pemberian pendidikan sama sekali.  Diperkirakan sampai tahun 1850, 60% penghuni rumah penampungan adalah orang-orang tuli, buta, dan sakit ingatan.   Dalam sejarah perkembangan perlakuan masyarakat terhadap penyendang cacat ada beberapa tokoh yang penting yang perlu dicatat.   Pada tahun, 1555, seorang pendeta berkebangsan Spanyol, Pedro Ponce de Leon, mengajar membaca, menulis, berbicara, dan berhitung kepada anak-anak tuli. Rintisan ini kemudian diikuti dengan penerbitan buku tentang pendidikan untuk anak tuli oleh Juan Pablo Bonet tahun 1620. Pada tahun 1700an, Jacob Periere tertarik kepda sekelompok orang tuli dan bisu yang menurut pandangan masyarakat saat itu anak-anak seperti ini tidak dapat dididik atau dilatih. Meskipun demikian Jacob Periere mencoba untuk mengajar mereka menggunakan bahasa isyarat dan menggunakan alat sederhana untuk berhitung.  Jacob Periere ingin menunjukkan bahwa dengan pengajaran yang  khusus mereka dapat diajar atau dididik.  Abbe Charles Michael de I`Epee dan Abbe Roch Ambroise Sicard di Perancis mengembangkan bahasa isyarat dan sistem pembelajaran  menggunakan gagasan Jacob Periere yang menekankan penggunaan isyarat dan alpabet biasa untuk berkomunikasi dan pelatihan indera  penglihatan dan perabaan. Ide inilah yang dianggap sebagai dasar pelatihan dan pendidikan  bagi anak tuli.    Jean Marc Itard, seorang dokter di Paris, yang berupaya melatih seorang anak tunagrahita yang ditemukan di hutan yang telah berperilaku seperti binatang yang kemudian anak ini terkenal dengan sebutan Victor the wild boy of Aveyron. Oleh Itard, Victor berhasil diajar untuk mengidentifikasi benda-benda dan bebera alpabet serta mengenal beberapa kata setelah kurang lebih lima tahun. Meskipun usaha Itard  belum berhasil secara total, karena ternyata diketahui Victor adalah tunagrahita, usaha ini telah berhasil  merubah pandangan masyarakat secara total dan memberikan keyakinan bahwa seorang penyendang cacat yang dahulu dipandang tidak dapat diajar (unteachable) telah berubah.  Edouard Seguin, murid Itard melanjutkan untuk mengajar anak tunagrahita. Ia bekerja di Hospice des Incurables di Perancis sebelum pindah ke Amerikat Serikat tahun 1850. Kemudian ia bekerja di sekolah untuk anak idiot di Pennsylvania.  Pada awal abad ke 20, Maria Montessori, mengembangkan teknik dan materi pengajaran untuk anak tunagrahita. Sementara itu Grace Fernald terlibat aktif dalam mengembangkan teknik pengajaran remedial membaca.   Pada awal tahun 1800, di Amerika Serikat Samuel Gridley Howe berusaha memberikan pendidikan kepada orang tunanetra yang sekarang terkenal dengan sekolah untuk tunanetra Perkins. Sebelum itu di Paris, tahun 1784 telah didirikan sekolah untuk tunanetra secara formal oleh Valentine Hauy. Pendirian sekolah inilah yang memberikan inspirasi pada Howe untuk mendirikan sekolah di Amerika Serikat tersebut.

   
Kisah Nabi Muhammad saw. dengan yahudi tuna netra dan penca dalam Alkitab

       Di sudut pasar Madinah Al-Munawarah seorang pengemis Yahudi buta hari demi hari apabila ada orang yang mendekatinya ia selalu berkata "Wahai saudaraku jangan dekati Muhammad, dia itu orang gila, dia itu pembohong, dia itu tukang sihir, apabila kalian mendekatinya kalian akan dipengaruhinya". Setiap pagi Rasulullah SAW mendatanginya dengan membawa makanan, dan tanpa berkata sepatah kata pun Rasulullah SAW menyuapi makanan yang dibawanya kepada pengemis itu walaupun pengemis itu selalu berpesan agar tidak mendekati orang yang bernama Muhammad. Rasulullah SAW melakukannya hingga menjelang Beliau SAW wafat. Setelah kewafatan Rasulullah tidak ada lagi orang yang membawakan makanan setiap pagi kepada pengemis Yahudi buta itu.

Suatu hari Abubakar r.a berkunjung ke rumah anaknya Aisyah r.ha. Beliau bertanya kepada anaknya, "anakku adakah sunnah kekasihku yang belum aku kerjakan", Aisyah r.ha menjawab pertanyaan ayahnya, "Wahai ayah engkau adalah seorang ahli sunnah hampir tidak ada satu sunnah pun yang belum ayah lakukan kecuali satu sunnah saja". "Apakah Itu?", tanya Abubakar r.a. Setiap pagi Rasulullah SAW selalu pergi ke ujung pasar dengan membawakan makanan untuk seorang pengemis Yahudi buta yang berada di sana", kata Aisyah r.ha.

Ke esokan harinya Abubakar r.a. pergi ke pasar dengan membawa makanan untuk diberikannya kepada pengemis itu. Abubakar r.a mendatangi pengemis itu dan memberikan makanan itu kepada nya. Ketika Abubakar r.a. mulai menyuapinya, si pengemis marah sambil berteriak, "siapakah kamu ?". Abubakar r.a menjawab, "aku orang yang biasa". "Bukan !, engkau bukan orang yang biasa mendatangiku", jawab si pengemis buta itu. Apabila ia datang kepadaku tidak susah tangan ini memegang dan tidak susah mulut ini mengunyah. Orang yang biasa mendatangiku itu selalu menyuapiku, tapi terlebih dahulu dihaluskannya makanan tersebut dengan mulutnya setelah itu ia berikan pada ku dengan mulutnya sendiri", pengemis itu melanjutkan perkataannya.

Abubakar r.a. tidak dapat menahan air matanya, ia menangis sambil berkata kepada pengemis itu, aku memang bukan orang yang biasa datang pada mu, aku adalah salah seorang dari sahabatnya, orang yang mulia itu telah tiada. Ia adalah Muhammad Rasulullah SAW. Setelah pengemis itu mendengar cerita Abubakar r.a. ia pun menangis dan kemudian berkata, benarkah demikian?, selama ini aku selalu menghinanya, memfitnahnya, ia tidak pernah memarahiku sedikitpun, ia mendatangiku dengan membawa makanan setiap pagi, ia begitu mulia.... Pengemis Yahudi buta tersebut akhirnya bersyahadat dihadapan Abubakar r.a.
        
       Dalam Alkitab dapat kita temukan beberapa kisah tentang penyandang cacat. Misalnya, Yesus pernah di datangi oleh  seorang lumpuh yang  diusung    oleh beberapa orang kemudian Yesus menyembuhkan orang tersebut dengan berkata   “Hai saudara, dosamu sudah diampuni” (Luk 5: 17-26, Mat 9:1-8, Mark 2: 1-12). Dalam kisah lain, Yesus menyembuhkan seorang pengemis buta, kataNya “Melihatlah engkau, imanmu telah menyelamatkan engkau” (Luk 18: 35 – 43, Mat 20:12 – 34, Mark 10:46-52). Kisah-kisah ini menunjukkan kepada kita bahwa pada zaman pelayanan Yesus di dunia ini, kecacatan sering dikaitkan dengan dosa dan iman.    Di samping kisah tersebut, pada suatu saat Yesus bertemu dengan orang buta sejak lahirnya. Kemudian murid-muridNya bertanya ”Rabi siapakah yang berbuat dosa, orang ini sendiri atau orang tuannya sehingga dia dilahirkan buta? Jawab Yesus” bukan dia dan bukan juga orang tuanya, tetapi karena pekerjaan-pekerjaan Allah harus dinyatakan di dalam dia.”(Yoh 9: 1-3). Dalam kisah ini kita bisa tahu bahwa kecacatan juga dapat terjadi pada seseorang karena memang kehendak Tuhan.   


Model Individual dan Sosial 

 Ada dua model cara memandang terhadap penca yaitu individual model dan social model. Kedua model ini menunjukkan perbedaan yang prinsip dimana individual model memandang bahwa kecacatan atau orang yang cacat itu dianggap masalah dengan kata lain orang cacat itulah yang menimbulkan masalah. Sebaliknya sosial model menganggap bahwa penca itu sendiri bukan problem tetapi problemnya terletak pada sikap masyarakatlah yang menimbulkan masalah.   Dalam individual model digambarkan bahwa penca menjadi problem karena mereka dianggap membawa rasa malu keluarga, selalu memerlukan bantuan (tergantung) pada orang lain, orang yang menderita, memerlukan rehabilitasi dll. Dalam sosial model menganggap problem muncul akibat sikap masyarakat yang negatif terhadap penyandang cacat.  Konvensi dan UU tentang Penca  Perhatian masyarakat dunia terhadap penca hinga sekarang sudah cukup baik dengan ditandai munculnya beberapa konvensi yang terkait dengan persoalan penca. Bebarapa konvensi tersebut diantaranya adalah (1) Deklarsi HaklAsasi manusia, tahun 1948, (2) Konvensi HakAnak, tahun 1989, (3) Konvensi Dunian tentang Education for All, tahun 1990, (4) Peraturan Standart tentang Kesamaan Kesempatan bagi Penyandang Cacat, tahun 1993, (5) Pernyataan Salamanca tentang Pendidikan Inklusi, tahun 1994. Secara khusus perhatian masyarakat Indonesia terhadap penca terwujud dengan lahirnya UU Nomor 4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat.
        Anak Luar Biasa  Individu yang memiliki kecacatan atau kelainan atau kerusakan seperti misalnya karena sesuatu hal matanya tidak berfungsi sebagaimana mestinya, pendengaran berkurang, atau tidak dapat mendengar sama sekali. Individu yang mengalami kondisi seperti tersebut agar bisa belajar atau mengikuti pendidikan membutuhkan layanan yang khusus dan layanan khusus ini bisa berupa materi pengajaran, teknik pengajaran, maupun alat bantu. Misalnya bagi orang yang tidak dapat mendengar (tuli) sebagai ganti bahasa verbal perlu menggunakan bahasa isyarat. Pada individu yang tidak dapat melihat (buta) untuk membaca dan menulis menggunakan huruf timbul berupa kombinasi enam titik (huruf braille).   Di samping individu yang mengalami kelainan sensori seperti tuli dan bisu seperti di atas ada pula individu yang mengalami kelainan fungsi itelektual sedemikian rupa sehingga dalam layanan pendidikannya memerlukan layanan yang khusus. Kelainan-kelainan lain di bidang tertentu misalnya mengalami gangguan konsentrasi, terjadi hiperaktif, kesulitan beradaptasi  juga memerlukan bantuan khusus dalam proses pendidikannya.  Anak gifted atau talented atau berbakat memiliki karakteristik belajar yang berbeda dengan anak pada umumnya ada yang memiliki kemampuan akademik yang unggul sehingga cepat dalam belajar, memiliki kemampuan pada bidang  tertentu yang sangat menonjol dan lain sebagainya. Kemampuan yang sangat berbeda dengan teman sebayanya  seperti itu jika tidak mendapat layanan yang khusus dapat menghambat perkebangannya.     Individu-individu seperti disebut di atas adalah individu-individu yang seharusnya mendapat layanan pendidikan secara khusus. Dengan demikian, individu yang perlu mendapat layanan pendidikan secara khusus adalah mereka yang karena gangguan atau kelaianan pada fisik, emosi, sensori, intelektual, dan atau kombinasi dari padanya sehingga mereka memerlukan layanan pendidikan secara khusus agar mereka dapat berkembang secara optimal.  Individu yang memerlukan layanan pendidikan secara khusus baik karena memiliki kekurangan  atau kelebihan tertentu di bawah atau di atas rata-rata dibandingkan dengan individu pada umumnya, dalam kalangan pendidikan di Indonesia disebut anak luar biasa. Yang termasuk anak luar biasa antara lain anak yang mengalami gangguan penglihatan yang disebut tunanetra, gangguan pendengaran disebut tunarungu, gangguan pada kecerdasan disebut tunagrahita, gangguan pada anggota tubuh disebut  tunadaksa, gangguan pada emosi dan adaptasi sosial disebut tunalaras. Anak –anak yang memiliki bakat khusus atau kecerdasan  yang tinggi disebut berbakat atau gifted.  Istilah luar biasa dalam bahasa Indonesia secara umum menunjuk suatu keadaan  yang  melebihi keadaan pada umumnya. Misalnya  untuk menunjukkan kehebatan seseorang – seorang anak yang selalu mendapat nilai sepuluh setiap mengerjakan soal ualangan di sekolah,  guru dan teman-temannya menyebutnya ”luar biasa”.  Namun dalam kalangan pendidikan justru digunakan untuk anak-anak yang mengalami kesukaran atau gangguan untuk mencapai prestasi belajar sehingga memerlukan pelayanan pendidikan secara khusus. Dalam bahasa Inggeris, dikenal  beberapa istilah yang digunakan untuk menunjuk individu yang memiliki kecacatan atau kelainan. Istilah itu adalah disabled, impaired, disordered, handicapped (Haring, 1982).  Disabled secara umum menunjuk pada seseorang yang mengalami penurunan atau gangguan fungsi  sebagai akibat adanya cacat fisik dan masalah dalam belajar atau penyesuaian sosial. Istilah ini paling sering digunakan untuk menunjuk adanya kecacatan fisik misalnya seseorang yang kehilangan tangan, kerusakan otak, atau penyakit tertentu. Impaired lebih umum digunakan untuk menunjuk pada kelainan atau kerusakan pada sensori misalnya gangguan penglihatan atau pendengaran. Disordered juga sering digunakan untuk menunjuk adanya maslah belajar dan perilaku sosial misalnya anak yang mengalami maslah bahasa disebut language disorder, anak yang kemampuan akademiknya bermaslah disebut learning disorder  dan anak yang mengalami gangguan tingkah laku disebut behavior disorder.  Sedangkan handicapped digunakan untuk menunjuk seseorang yang mengalami kesulitan dalam merespon atau menyesuaikan terhadap lingkungan oleh karena adanya kelaianan intelektuan, fisik, atau emosi.  Istilah-istilah tersebut, oleh orang awam dalam kehidupan sehari-hari, sering digunakan secara bergantian dengan arti dan makna yang sama. Lagi pula penggunaan istilah-istilah tersebut secara tidak tepat juga sering ditmeui dalam artikel-artikel ilmiah dan bahasa resmi hukum dan pemerintahan. Meskipun demikian ada satu istilah lain yang sering digunakan yaitu exceptional yang mengandung makna  lebih luas dari pada istilah-istilah terdahulu.  Istilah ini mencakup anak-anak gifted atau talented yang memiliki kemampuan lebih dari anak-anak pada umumnya.
Di Indonesia istilah-istilah tersebut di atas dapat diwakili dengan istilah ”anak cacat” sedangakan dalam dunia pendidikan lebih dikenal dengan istilah ”anak luar biasa”  untuk menunjuk individu yang memiliki kelainan pada fisik, emosi, sosial, dan intelektual yang memerlukan layanan pendidikan  secara khusus. Individu yang memerlukan layanan pendidikan khusus dapat dikategorikan sebagai berikut:
1. Kelainan indera (yaitu tunanetra dan tunarungu) 2. Kelainan kecerdasan (yaitu tunagrahita dan gifted) 3. Kelainan komunikasi (gangguan bahasa dan bicara) 4. Berkesulitan belajar (Learning disabiliy) 5. Gangguan tingkah laku (behavior disorder) 6. Cacat fisik dan gangguan kesehatan (Haring, 1982: 2)
 Anak luar biasa, dalam pendidikan di Indonesia, berdasarkan jenis kecacatannya
secara tradisional digolongkan dalam: tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, tunaganda, dan anak berbakat (gifted) sesuai dengan jenis sekolah (Sekolah Luar Biasa  disingkat SLB) yang diperuntukkan bagi mereka. Meskipun demikian, sejalan dengan perkembangan pendidikan bagi penyandang cacat ternyata ada anak-anak yang memiliki kelainan lain yang tidak tercakup dalam pengelompokan tersebut misalnya anak dengan autis dan  anak dengan gangguan konsentrasi dan hiperaktif.  


Sumber : 

1. PENDIDIKAN LUAR BIASA  DI INDONESIA.  Juang Sunanto Jurusan Pendidikan Luar Biasa Fakultas Ilmu Pendidikan 
Universitas Pendidikan Indonesia  

2.  http://azharjaafar.blogspot.co.id/2008/08/rasulullah-saw-dan-pengemis-yahudi-buta.html

Tidak ada komentar: