Sabtu, 26 September 2015

Sejarah Pendidikan Khusus di Indonesia

Bagian 2


          Pendidikan Luar Biasa   Sejarah perkembangan pendidikan bagi penyandang cacat di Indonesia pada dasarnya dapat dilihat dari dua periode yaitu periode sebelum kemerdekaan dan setelah kemerdekaan. Berdirinya Blinden Instituut tahun 1901 di Bandung yang diprakarsai oleh dr. Westhoff merupakan awal pelayanan terhadap penyandang cacat dimana para tunanetra diberikan latihan dengan  program shetered workshop (bengkel kerja). Program inilah yang merupakan cikal bakal berdirinya sekolah khusus  bagi tunanetra di Indonesia. Selanjutnya pada tahun 1927, juga di Bandung, dibuka sekolah khusus bagi anak tunagrahita yang didirikan oleh Bijzonder Onderwijs yang diprakarsai oleh seorang yang bernama Folker, sehingga sekolah ini disebut Folker School. Pada tahun1930 sekolah khusus untuk tunarungu wicara juga dibuka di Bandung oleh seorang Belanda yang bernama C. M. Roelsema.    Pada masa kemerdekaan, keberadaan sekolah bagi penyandang cacat makin terjamin dengan adanya UUD 45 yang menyatakan setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan. Di samping itu UU Pendidikan No 12 tahun 1954 memuat ketentuan  tentang pendidikan dan pengajaran luar biasa. Mulai saat itulah sekolah bagi penyandang cacat disebut Sekolah Luar Biasa (SLB).   Penyelenggara SLB, sejak dulu hingga kini, sebagian besar adalah pihak swasta yang berupa yayasan. Meskipun demikian penyelenggaraan SLB dibina oleh pemerintah yang mula-mula oleh Seksi Pengajaran Luar Biasa merupakan bagian dari Balai Pendidikan Guru kemudian oleh Urusan Pendidikan Luar Biasa, bagian dari Jawatan Pengajaran, selanjutnya oleh Urusan Pendidikan Luar biasa, bagian dari Jawatan Pendidikan Umum . Sejak tahun 1980 SLB dibina oleh Subdirektorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa (Subdit. PSLB), di bawah Direktorat Pendidikan Dasar pada Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah. Selanjutnya Subdit. PSLB ditingkatnya fungsinya menjadi Direktorat Pendidikan Luar Biasa (Dit. PLB). Dan terakhir Direktorat ini berubah menjadi Dit. PSLB.  Perjalanan pendidikan bagi penyandang cacat telah berjalan lebih dari satu abad. Selama kurun waktu tersebut tidak dapat dipungkiri bahwa pendidikan luar biasa telah berkembang secara kuantitatif maupun kualitatif. Jumlah SLB makin meningkat, lembaga pemerintah yang mengurusnya semakin besar, Lembaga  penyiapan gurunya juga telah berkembang hingga di LPTK perguruan tinggi, sistem layanan pendidikannya bervariasi seturut dengan perkembangan kesadaran masyarakat nasional maupun internasional. Meskipun demikian, kemajuan  PLB di Indonesia tidak luput dari berbagai masalah atau tantangan dalam perkembangannya.   Dalam rangka mengembangkan PLB di Indonesia, beberapa isu penting mengenai PLB baik dalam skala nasional maupun internasional perlu mendapat perhatian. Beberapa isu yang terkait dengan penyelenggaraan  PLB di antaranya: (1) Paradigma dan konsep PLB dalam persepektif Internasional, (2) Sistem layanan pendidikan, (3) Fungsi dan peran SLB, (4) Profesionalisme  PLB.
 
        Paradigma baru PLB  Dalam perspektif internasional, paradigma pendidikan bagi penyandang cacat telah mengalami perubahan. Perubahan yang paling utama adalah orientasi dalam mendefinisikan penyandang cacat sebagai obyek formalnya. Mula-mula yang menjadi sasaran pendidikan luar biasa (special education) adalah anak atau peserta didik yang cacat (children with disabilities), dimana anak dilihat dari jenis kecacatannya seperti tunanetra, tunarungu, tunagrahita dan sebagainya. Sedangkan pada  konsep yang terbaru sasaran pendidikan luar biasa difokuskan pada anak dengan jenis kebutuhan  individu dan hambatan belajar yang dialaminya (special needs and barrier to lerning). Sehubungan dengan hal itu pendidikan luar biasa (special education) berubah menjadi pendidikan kebutuhan khusus (special needs education). 

 Dengan paradigma yang baru obyek formal pendidikan luar biasa yang dulu disebut anak luar biasa (ALB) dalam bahasa Inggris disebut disable children atau exceptional chldren bergeser menjadi anak dengan kebutuhan khusus (ABK) children with special needs atau children with special educational needs. Kebutuhan khusus (special needs) ditinjau dari asalnya bisa dari diri sendiri, dari lingkungan, maupun kombinasi dari keduanya, sedangkan ditinjau dari sifatnya bisa bersifat temporer (sementara) maupun permanen (menetap). Berdasarkan pemahaman ini maka sasaran pendidikan luar biasa (special needs education) menjadi luas dimana anak yang memiliki kebutuhan khusus yang terkait dengan hambatan belajar dan perkembangan.
 
       Sehubungan dengan pemahaman baru tentang sasaran didiknya, maka pendidikan luar biasa (special needs education) memiliki fungsi untuk mencegah, menangani, dan mengkompensasikan hambatan belajar anak.
 Sistem Layanan Pendidikan  Sejak tahun 1901 hingga sekitar tahun 1970an pendidikan bagi penyandang cacat masih terfokus pada layanan pendidikan yang segregatif (terpisah) dimana penyandang cacat dididik atau bersekolah di lembaga yang terpisah dari lembaga pendidikan atau sekolah pada umumnya. Sehubungan dengan paradigma dan konsep baru pendidikan luar biasa sistem pendidikan semacam itu dianggap tidak manusiawi lagi. Pada kenyataannya dalam kehidupan sehari-hari penyandang cacat pun harus hidup di lingkungan pada umumnya (normal) sehingga memisahkannya sejak kecil di lingkungan sekolah yang khusus dapat menghambat proses sosialisi paska sekolah. 
 
       Sejak tahun 1970an Indonesia telah memperkenalkan sistem layanan pendidikan (sekolah) dimana penyandang cacat bersekolah bersama sama dengan anak pada umumnya sekolah reguler yang disebut dengan sekolah terpadu (integrasi). Sistem sekolah terpadu ini sebagian besar melayani anak tunanetra sementara anak dengan kecacatan lain belum banyak mengikuti sistem sekolah terpadu ini.
 Dalam perkembangan selanjutnya Indonesia juga memperkenalkan layanan pendidikan yang didasari oleh filosofi inklusi yang diamanatkan oleh PBB melalui prinsip Education for All (pendidikan untuk semua). Sayangnya filosofi
 

pendidikan inklusif ini telah dipraktekkan secara terburu-buru di Indonesia sehingga hasilnya kurang memuaskan dan sering disalah artikan oleh para pelaku pendidikan di lapangan maupun di tataran birokratnya. Salah satu kasus yang paling populer akibat sosialisasi yang keliru ada sekolah memindahkan penyandang cacat  dari SLB ke sekolah tersebut dengan tujuan agar sekolahnya menjadi inklusi.
 Dengan pendidikan inklusif, penyandang cacat akan belajar di sekolah mana saja tak terbatas di SLB oleh karenanya guru-guru SLB sangat berpotensi berkembang perannya di lembaga pendidikan manapun.  
 Profesionalisme PLB
 Setelah Indonesia merdeka, sekolah-sekolah khusus atau SLB yang didirikan oleh pemerintah Belanda masih dilanjutkan oleh bangsa Indonesia hingga sekarang. Guru-guru yang akan mengajar di SLB diberikan latihan atau dididik khusus di Sekolah Guru Pendidikan Luar Biasa (SGPLB). SGPLB dibuka pertama kali, di Bandung, tahun 1952 dengan masa pendidikan selama 2 tahun. Pada mulanya SGLPB diperuntukan bagi guru-guru yang telah mengajar, namun dalam perkembangannya lulusan SLTA darimanapun boleh mengikuti pendidikan.  Sejak tahun 1960an penyiapan guru-guru SLB juga ditingkatkan dimana mereka dipersiapkan di perguruan tinggi dari Diploma III hingga Sarjana. Sekarang ini telah dibuka program pascasarjana PLB untuk S2 di Universitas Pendidikan (UPI). 
 Undang Undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen menegaskan bahwa pengakuan kedudukan guru sebagai tenaga professional, dibuktikan dengan sertifikat pendidik (Ps. 2:2). Guru profesional adalah guru yang memenuhi kompetensi pedagogik, kepribadian, profesional dan sosial yang diperoleh melalui pendidikan profesi (Ps. 10). Selama ini program pendidikan profesi keguruan kurikulumnya melekat secara simultan (konkuren) dengan program S1 LPTK. Berdasarkan kebijakan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, lulusan program S1 Pendidikan berhak mengajar di sekolah yang dibuktikan dengan Akta Mengajar. Sementara itu, untuk calon guru yang berasal dari non LPTK diwajibkan mengikuti pendidikan Akta Mengajar secara  konsekutif. 

       Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, menjelaskan bahwa pendidik pada satuan pendidikan SDLB/SMPLB/SMALB harus memenuhi kualifikasi akademik minimum D-IV atau S1 latar belakang pendidikan tinggi program pendidikan khusus, serta memiliki sertifikat profesi guru SDLB/SMPLB/SMALB (Ps. 29 : 5). Dengan mengacu kepada PP tersebut maka lulusan S1 PK dituntut untuk dapat mengajar pada satuan pendidikan khusus mulai dari SDLB, SMPLB dan SMALB bahkan juga TKLB, baik untuk jenis kelainan  Tunanetra (A), Tunarungu (B), Tunagrahita (C), Tunadaksa (D), Tunalaras (E), Kecerdasan dan Keberbakatan istimewa (F), maupun Berkesulitan Belajar (H). Selama ini Kurikulum S1 PK lebih menitikberatkan kepada penguasaan kompetensi keguruan bidang PK dalam setting persekolahan satuan pendidikan SDLB (A,B,C,D,E). Sedangkan untuk SMPLB, SMALB dan kompetensi layanan khusus di luar setting persekolahan, masih bersifat dasar dan generik.




 
Daftar Pustaka 



1. Alcott, M. (2002) An Intruduction to Children with Special Educational Needs. London: Hodder & Stoughton.

2. Armstrong, F., Amstrong, D., and Boorton, L. (2000) Inclusive Education. Policy, Contexts, and Comparative Perspectives. London: David Fulton.

3. Foreman, P. (2001) Integration and Inclusion in Action. Victori: Nelson Thomson Learning.

4. Hallahan, D. P. and Kauffman, J. M. (2005). Special Education. What it is and why we need it. New York: Pearson.

4. Haring, N. G. (1982). (ed.). Exceotional Children and Youth. An Introduction to Special Education. Columbus: Charles E. Merrill.

5. Johnsen, B. and Skjorten, M. D. (2004) Pendidikan Kebutuhan Khusus. Sebuah Pengantar. Oslo: Unipub. 

6. Smith, J. D. (1998) Inclusion School for All Students. New York: Wadsworth. Sterenberg, L. and Taylor, R. L. (19  ). Exceptional Children: Integrating Research and Teaching. New York: Springer-Verlag. Sunardi (tanpa tahun) Kecenderungan dalam Pendidikan Luar Biasa. Jakarata:
 
7. Proyek Pendidikan Tenaga Akademiik, Dirjend. Dikti., Depdiknas.  Sunardi (tanpa tahun). Kecenderungan dalam Pendidikan Luar Biasa. Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Proyek Pendidikan Tenaga Akademik.


Tidak ada komentar: