Autisme adalah kelainan perkembangan sistem saraf
 pada seseorang yang kebanyakan diakibatkan oleh faktor hereditas dan 
kadang-kadang telah dapat dideteksi sejak bayi berusia 6 bulan. Deteksi 
dan terapi sedini mungkin akan menjadikan si penderita lebih dapat 
menyesuaikan dirinya dengan yang normal. Kadang-kadang terapi harus 
dilakukan seumur hidup, walaupun demikian penderita Autisme yang cukup 
cerdas, setelah mendapat terapi Autisme sedini mungkin, seringkali dapat
 mengikuti Sekolah Umum, menjadi Sarjana dan dapat bekerja memenuhi 
standar yang dibutuhkan, tetapi pemahaman dari rekan selama bersekolah 
dan rekan sekerja seringkali dibutuhkan, misalnya tidak menyahut atau 
tidak memandang mata si pembicara, ketika diajak berbicara. 
Karakteristik yang menonjol pada seseorang yang mengidap kelainan ini 
adalah kesulitan membina hubungan sosial, berkomunikasi secara normal maupun memahami emosi serta perasaan orang lain.[1] Autisme merupakan salah satu gangguan perkembangan yang merupakan bagian dari Kelainan Spektrum Autisme atau Autism Spectrum Disorders (ASD) dan juga merupakan salah satu dari lima jenis gangguan dibawah payung Gangguan Perkembangan Pervasif atau Pervasive Development Disorder (PDD). Autisme bukanlah penyakit kejiwaan karena ia merupakan suatu gangguan yang terjadi pada otak
 sehingga menyebabkan otak tersebut tidak dapat berfungsi selayaknya 
otak normal dan hal ini termanifestasi pada perilaku penyandang autisme.[2] Autisme adalah yang terberat di antara PDD.
       Gejala-gejala autisme dapat muncul pada anak mulai dari usia tiga puluh bulan sejak kelahiran hingga usia maksimal tiga tahun.[1][3] Penderita autisme juga dapat mengalami masalah dalam belajar, komunikasi, dan bahasa.[1]
 Seseorang dikatakan menderita autisme apabila mengalami satu atau lebih
 dari karakteristik berikut: kesulitan dalam berinteraksi sosial secara 
kualitatif, kesulitan dalam berkomunikasi secara kualitatif, menunjukkan
 perilaku yang repetitif, dan mengalami perkembangan yang terlambat atau
 tidak normal.[4]
Di Amerika Serikat,
 kelainan autisme empat kali lebih sering ditemukan pada anak lelaki 
dibandingkan anak perempuan dan lebih sering banyak diderita anak-anak keturunan Eropa Amerika dibandingkan yang lainnya.[5] 
         Di Indonesia, pada tahun 2013 diperkirakan terdapat lebih dari 112.000 anak yang menderita autisme dalam usia 5-19 tahun.[6] Sedangkan prevalensi penyandang autisme di seluruh dunia menurut data UNESCO pada tahun 2011 adalah 6 di antara 1000 orang mengidap autisme.[6]
Gejala
Secara historis, para ahli dan peneliti dalam bidang autisme 
mengalami kesulitan dalam menentukan seseorang sebagai penyandang 
autisme atau tidak. Pada awalnya, diagnosa disandarkan pada ada atau 
tidaknya gejala namun saat ini para ahli setuju bahwa autisme lebih 
merupakan sebuah kontinuum. Gejala-gejala autisme dapat dilihat apabila seorang anak memiliki kelemahan di tiga domain tertentu, yaitu sosial, komunikasi, dan tingkah laku yang berulang.[7]
Aarons dan Gittents (1992) merekomendasikan adanya suatu pendekatan 
deskriptif dalam mendiagnosa autisme sehingga menyertakan 
pengamatan-pengamatan yang menyeluruh di setting-setting sosial anak 
sendiri. Settingya mungkin di sekolah, di taman-taman bermain atau 
mungkin di rumah sebagai lingkungan sehari-hari anak dimana hambatan 
maupun kesulitan mereka tampak jelas di antara teman-teman sebaya mereka
 yang normal.
Persoalan lain yang memengaruhi keakuratan suatu diagnosa seringkali 
juga muncul dari adanya fakta bahwa perilaku-perilaku yang bermasalah 
merupakan atribut dari pola asuh
 yang kurang tepat. Perilaku-perilaku tersebut mungkin saja merupakan 
hasil dari dinamika keluarga yang negatif dan bukan sebagai gejala dari 
adanya gangguan. Adanya interpretasi yang salah dalam memaknai penyebab 
mengapa anak menunjukkan persoalan-persoalan perilaku mampu menimbulkan 
perasaan-perasaan negatif para orang tua. Pertanyaan selanjutnya 
kemudian adalah apa yang dapat dilakukan agar diagnosa semakin akurat 
dan konsisten sehingga autisme sungguh-sungguh terpisah dengan 
kondisi-kondisi yang semakin memperburuk? Perlu adanya sebuah model 
diagnosa yang menyertakan keseluruhan hidup anak dan mengevaluasi 
hambatan-hambatan dan kesulitan anak sebagaimana juga terhadap 
kemampuan-kemampuan dan keterampilan-keterampilan anak sendiri. Mungkin 
tepat bila kemudian disarankan agar para profesional di bidang autisme 
juga mempertimbangkan keseluruhan area, misalnya: perkembangan awal 
anak, penampilan anak, mobilitas anak, kontrol dan perhatian anak, 
fungsi-fungsi sensorisnya, kemampuan bermain, perkembangan konsep-konsep
 dasar, kemampuan yang bersifat sikuen, kemampuan musikal, dan lain 
sebagainya yang menjadi keseluruhan diri anak sendiri.
Diagnosis
Anak dengan autisme dapat tampak normal pada tahun pertama maupun 
tahun kedua dalam kehidupannya. Para orang tua seringkali menyadari 
adanya keterlambatan kemampuan berbahasa dan cara-cara tertentu yang 
berbeda ketika bermain serta berinteraksi dengan orang lain. Anak-anak 
tersebut mungkin dapat menjadi sangat sensitif atau bahkan tidak 
responsif terhadap rangsangan-rangsangan dari kelima panca inderanya
 (pendengaran, sentuhan, penciuman, rasa dan penglihatan). 
Perilaku-perilaku repetitif (mengepak-kepakan tangan atau jari, 
menggoyang-goyangkan badan dan mengulang-ulang kata) juga dapat 
ditemukan. Perilaku dapat menjadi agresif (baik kepada diri sendiri 
maupun orang lain) atau malah sangat pasif. Besar kemungkinan, 
perilaku-perilaku terdahulu yang dianggap normal mungkin menjadi 
gejala-gejala tambahan. Selain bermain yang berulang-ulang, minat yang 
terbatas dan hambatan bersosialisasi, beberapa hal lain yang juga selalu
 melekat pada para penyandang autisme adalah respon-respon yang tidak 
wajar terhadap informasi
 sensoris yang mereka terima, misalnya; suara-suara bising, cahaya, 
permukaan atau tekstur dari suatu bahan tertentu dan pilihan rasa 
tertentu pada makanan yang menjadi kesukaan mereka.
Beberapa atau keseluruhan karakteristik yang disebutkan berikut ini 
dapat diamati pada para penyandang autisme beserta spektrumnya baik 
dengan kondisi yang teringan hingga terberat sekalipun.
- Hambatan dalam komunikasi, misal: berbicara dan memahami bahasa.
 - Kesulitan dalam berhubungan dengan orang lain atau obyek di sekitarnya serta menghubungkan peristiwa-peristiwa yang terjadi.
 - Bermain dengan mainan atau benda-benda lain secara tidak wajar.
 - Sulit menerima perubahan pada rutinitas dan lingkungan yang dikenali.
 - Gerakkan tubuh yang berulang-ulang atau adanya pola-pola perilaku yang tertentu
 
Para penyandang Autisme beserta spektrumnya sangat beragam baik dalam
 kemampuan yang dimiliki, tingkat intelegensi, dan bahkan perilakunya. 
Beberapa di antaranya ada yang tidak 'berbicara' sedangkan beberapa 
lainnya mungkin terbatas bahasanya sehingga sering ditemukan 
mengulang-ulang kata atau kalimat (echolalia).
 Mereka yang memiliki kemampuan bahasa yang tinggi umumnya menggunakan 
tema-tema yang terbatas dan sulit memahami konsep-konsep yang abstrak. 
Dengan demikian, selalu terdapat individualitas yang unik dari 
individu-individu penyandangnya.
Terlepas dari berbagai karakteristik di atas, terdapat arahan dan 
pedoman bagi para orang tua dan para praktisi untuk lebih waspasa dan 
peduli terhadap gejala-gejala yang terlihat. The National Institute of Child Health and Human Development (NICHD) di Amerika Serikat menyebutkan 5 jenis perilaku yang harus diwaspadai dan perlunya evaluasi lebih lanjut :
- Anak tidak bergumam hingga usia 12 bulan
 - Anak tidak memperlihatkan kemampuan gestural (menunjuk, dada, menggenggam) hingga usia 12 bulan
 - Anak tidak mengucapkan sepatah kata pun hingga usia 16 bulan
 - Anak tidak mampu menggunakan dua kalimat secara spontan di usia 24 bulan
 - Anak kehilangan kemampuan berbahasa dan interaksi sosial pada usia tertentu
 
Adanya kelima ‘lampu merah’ di atas tidak berarti bahwa anak tersebut
 menyandang autisme tetapi karena karakteristik gangguan autisme yang 
sangat beragam maka seorang anak harus mendapatkan evaluasi secara multidisipliner yang dapat meliputi; Neurolog, Psikolog, Pediatric, Terapi Wicara, Paedagog dan profesi lainnya yang memahami persoalan autisme.
Dokter spesialis
 yang cocok untuk mendeteksi Autisme adalah Dokter Spesialis Anak (Sp.A)
 yang dibantu oleh Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa (Sp.KJ) untuk 
mengetahui antara lain tingkat kecerdasan Balita, Dokter Spesialis 
Telinga Hidung Tenggorok-Bedah Kepala leher (Sp.THT-KL) untuk mengetahui
 antara lain pendegaran Balita Yang tidak/kurang responsif terhadap 
suara atau bahkan tidak dapat berkata-kata dan dapat disangka penderita 
Autisme, padahal bukan.
A. Interaksi Sosial (minimal 2):
- Tidak mampu menjalin interaksi sosial non verbal: kontak mata, ekspresi muka, posisi tubuh, gerak-gerik kurang tertuju
 - Kesulitan bermain dengan teman sebaya
 - Tidak ada empati, perilaku berbagi kesenangan/minat
 - Kurang mampu mengadakan hubungan sosial dan emosional 2 arah
 
B. Komunikasi Sosial (minimal 1):
- Tidak/terlambat bicara, tidak berusaha berkomunikasi non verbal
 - Bisa bicara tapi tidak untuk komunikasi/inisiasi, egosentris
 - Bahasa aneh & diulang-ulang/stereotip
 - Cara bermain kurang variatif/imajinatif, kurang imitasi social
 
C. Imaginasi, berpikir fleksibel dan bermain imaginatif (minimal 1):
- Mempertahankan 1 minat atau lebih dengan cara yang sangat khas dan berlebihan, baik intensitas dan fokusnya
 - Terpaku pada suatu kegiatan ritualistik/rutinitas yang tidak berguna
 - Ada gerakan-gerakan aneh yang khas dan berulang-ulang. Seringkali sangat terpukau pada bagian-bagian tertentu dari suatu benda
 
Seorang anak penderita autisme, dengan jajaran mainan yang ia buat
Gejala autisme dapat sangat ringan (mild), sedang (moderate) hingga parah (severe),
 sehingga masyarakat mungkin tidak menyadari seluruh keberadaannya. 
Parah atau ringannya gangguan autisme sering kemudian di-paralel-kan 
dengan keberfungsian. Dikatakan oleh para ahli bahwa anak-anak dengan 
autisme dengan tingkat intelegensi dan kognitif yang rendah, tidak berbicara (nonverbal),
 memiliki perilaku menyakiti diri sendiri, serta menunjukkan sangat 
terbatasnya minat dan rutinitas yang dilakukan maka mereka 
diklasifikasikan sebagai low functioning autism.
 Sementara mereka yang menunjukkan fungsi kognitif dan intelegensi yang 
tinggi, mampu menggunakan bahasa dan bicaranya secara efektif serta 
menunjukkan kemampuan mengikuti rutinitas yang umum diklasifikasikan 
sebagai high functioning autism. Dua dikotomi dari karakteristik gangguan sesungguhnya akan sangat berpengaruh pada implikasi pendidikan maupun model-model treatment
 yang diberikan pada para penyandang autisme. Kiranya melalui media ini 
penulis menghimbau kepada para ahli dan paktisi di bidang autisme untuk 
semakin mengembangkan strategi-strategi dan teknik-teknik pengajaran 
yang tepat bagi mereka. Apalagi mengingat fakta dari hasil-hasil 
penelitian terdahulu menyebutkan bahwa 80% anak dengan autisme memiliki 
intelegensi yang rendah dan tidak berbicara atau nonverbal. Namun sekali
 lagi, apapun diagnosa maupun label yang diberikan prioritasnya adalah 
segera diberikannya intervensi yang tepat dan sungguh-sungguh sesuai 
dengan kebutuhan mereka.
Referensi baku yang digunakan secara universal dalam mengenali jenis-jenis gangguan perkembangan pada anak adalah ICD (International Classification of Diseases) Revisi ke-10 tahun 1993 dan DSM (Diagnostic And Statistical Manual) Revisi IV tahun 1994 yang keduanya sama isinya. Secara khusus dalam kategori Gangguan Perkembangan Perpasiv (Pervasive Developmental Disorder/PDD):
 Autisme ditunjukkan bila ditemukan 6 atau lebih dari 12 gejala yang 
mengacu pada 3 bidang utama gangguan, yaitu: Interaksi Sosial – 
Komunikasi – Perilaku.
Autisme sebagai spektrum gangguan maka gejala-gejalanya dapat menjadi
 bukti dari berbagai kombinasi gangguan perkembangan. Bila tes-tes 
secara behavioral maupun komunikasi tidak dapat mendeteksi adanya autisme, maka beberapa instrumen screening yang saat ini telah berkembang dapat digunakan untuk mendiagnosa autisme:
- Childhood Autism Rating Scale (CARS): skala peringkat autisme masa kanak-kanak yang dibuat oleh Eric Schopler pada awal tahun 1970 yang didasarkan pada pengamatan perilaku. Alat menggunakan skala hingga 15; anak dievaluasi berdasarkan hubungannya dengan orang, penggunaan gerakan tubuh, adaptasi terhadap perubahan, kemampuan mendengar dan komunikasi verbal
 - The Checklis for Autism in Toddlers (CHAT): berupa daftar pemeriksaan autisme pada masa balita yang digunakan untuk mendeteksi anak berumur 18 bulan, dikembangkan oleh Simon Baron Cohen pada awal tahun 1990-an.
 - The Autism Screening Questionare: adalah daftar pertanyaan yang terdiri dari 40 skala item yang digunakan pada anak dia atas usia 4 tahun untuk mengevaluasi kemampuan komunikasi dan sosial mereka
 - The Screening Test for Autism in Two-Years Old: tes screening autisme bagi anak usia 2 tahun yang dikembangkan oleh Wendy Stone di Vanderbilt didasarkan pada 3 bidang kemampuan anak, yaitu; bermain, imitasi motor dan konsentrasi.
 
Diagnosa yang akurat dari Autisme maupun gangguan perkembangan lain 
yang berhubungan membutuhkan pengamatan yang menyeluruh terhadap: 
perilaku anak, kemampuan komunikasi dan kemampuan perkembangan lainnya. 
Akan sangat sulit mendiagnosa karena adanya berbagai macam gangguan yang
 terlihat. Observasi dan wawancara dengan orang tua juga sangat penting 
dalam mendiagnosa. Evaluasi tim yang terdiri dari berbagai disiplin ilmu
 memungkinkan adanya standardisasi dalam mendiagnosa. Tim dapat terdiri 
dari neurolog, psikolog, pediatrik, paedagog, patologis ucapan/kebahasaan, okupasi terapi, pekerja sosial dan lain sebaginya.
Penyebab
Hingga kini apa yang menyebabkan seseorang dapat menderita autisme 
belum diketahui secara pasti. Riset-riset yang dilakukan oleh para ahli medis menghasilkan beberapa hipotesa mengenai penyebab autisme. Dua hal yang diyakini sebagai pemicu autisme adalah faktor genetik atau keturunan dan faktor lingkungan seperti pengaruh zat kimiawi ataupun vaksin.[8]
Faktor genetik
Faktor genetik diyakini memiliki peranan yang besar bagi penyandang 
autisme walaupun tidak diyakini sepenuhnya bahwa autisme hanya dapat 
disebabkan oleh gen dari keluarga.[7] Riset yang dilakukan terhadap anak autistik menunjukkan bahwa kemungkinan dua anak kembar
 identik mengalami autisme adalah 60 hingga 95 persen sedangkan 
kemungkinan untuk dua saudara kandung mengalami autisme hanyalah 2,5 
hingga 8,5 persen.[7]
 Hal ini diinterpretasikan sebagai peranan besar gen sebagai penyebab 
autisme sebab anak kembar identik memiliki gen yang 100% sama sedangkan 
saudara kandung hanya memiliki gen yang 50% sama.[7]
Faktor lingkungan
Ada dugaan bahwa autisme disebabkan oleh vaksin MMR yang rutin diberikan kepada anak-anak di usia dimana gejala-gejala autisme mulai terlihat.[9] Kekhawatiran ini disebabkan karena zat kimia bernama thimerosal yang digunakan untuk mengawetkan vaksin tersebut mengandung merkuri.[9]
 Unsur merkuri inilah yang selama ini dianggap berpotensi menyebabkan 
autisme pada anak. Namun, tidak ada bukti kuat yang mendukung bahwa 
autisme disebabkan oleh pemberian vaksin. Penggunaan thimerosal dalam 
pengawetan vaksin telah diberhentikan namun angka autisme pada anak 
semakin tinggi.[9]
Penanganan autisme
Intensitas dari treatment
 perilaku pada anak dengan autisme merupakan hal penting, namun 
persoalan-persoalan mendasar yang ditemui di Indonesia menjadi sangat 
krusial untuk diatasi lebih dahulu. Tanpa mengabaikan faktor-faktor 
lain, beberapa fakta yang dianggap relevan dengan persoalan penanganan 
masalah autisme di Indonesia di antaranya adalah:
- Kurangnya tenaga terapis yang terlatih di Indonesia. Orang tua selalu menjadi pelopor dalam proses intervensi sehingga pada awalnya pusat-pusat intervensi bagi anak dengan autisme dibangun berdasarkan kepentingan keluarga untuk menjamin kelangsungan pendidikan anak mereka sendiri.
 - Belum adanya petunjuk treatment yang formal di Indonesia. Tidak cukup dengan hanya mengimplementasikan petunjuk teatment dari luar yang penerapannya tidak selalu sesuai dengan kultur kehidupan anak-anak Indonesia.
 - Masih banyak kasus-kasus autisme yang tidak di deteksi secara dini sehingga ketika anak menjadi semakin besar maka semakin kompleks pula persoalan intervensi yang dihadapi orang tua. Para ahli yang mampu mendiagnosa autisme, informasi mengenai gangguan dan karakteristik autisme serta lembaga-lembaga formal yang memberikan layanan pendidikan bagi anak dengan autisme belum tersebar secara merata di seluruh wilayah di Indonesia.
 - Belum terpadunya penyelenggaraan pendidikan bagi anak dengan autisme di sekolah. Dalam Pasal 4 UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional telah diamanatkan pendidikan yang demokratis dan tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, dukungan ini membuka peluang yang besar bagi para penyandang autisme untuk masuk dalam sekolah-sekolah umum (inklusi) karena hampir 500 sekolah negeri telah diarahkan oleh pemerintah untuk menyelenggarakan inklusi.
 - Permasalahan akhir yang tidak kalah pentingnya adalah minimnya pengetahuan baik secara klinis maupun praktis yang didukung dengan validitas data secara empirik (Empirically Validated Treatments/EVT) dari penanganan-penanganan masalah autisme di Indonesia. Studi dan penelitian autisme selain membutuhkan dana yang besar juga harus didukung oleh validitas data empirik, namun secara etis tentunya tidak ada orang tua yang menginginkan anak mereka menjadi percobaan dari suatu metodologi tertentu. Kepastian dan jaminan bagi proses pendidikan anak merupakan pertimbangan utama bagi orang tua dalam memilih salah satu jenis treatment bagi anak mereka sehingga bila keraguan ini dapat dijawab melalui otoritas-otoritas ilmiah maka semakin terbuka informasi bagi masyarakat luas mengenai pengetahuan-pengetahuan baik yang bersifat klinis maupun praktis dalam proses penanganan masalah autisme di Indonesia.
 
Terapi
Beberapa jenis terapi bersifat tradisional dan telah teruji dari 
waktu ke waktu sementara terapi lainnya mungkin baru saja muncul. Tidak 
seperti gangguan perkembangan lainnya, tidak banyak petunjuk treatment 
yang telah dipublikasikan apalagi prosedur yang standar dalam menangani 
autisme. Bagaimanapun juga para ahli sependapat bahwa terapi harus 
dimulai sejak awal dan harus diarahkan pada hambatan maupun 
keterlambatan yang secara umum dimiliki oleh setiap anak autis, 
misalnya; komunikasi dan persoalan-persolan perilaku. Treatment yang 
komprehensif umumnya meliputi; Terapi Wicara (Speech Therapy), Okupasi 
Terapi (Occupational Therapy) dan Applied Behavior Analisis (ABA) untuk mengubah serta memodifikasi perilaku.
Berikut ini adalah suatu uraian sederhana dari berbagai literatur 
yang ada dan ringkasan penjelasan yang tidak menyeluruh dari beberapa 
treatment yang diakui saat ini. Menjadi keharusan bagi orang tua untuk 
mencari tahu dan mengenali treatment yang dipilihnya langsung kepada 
orang-orang yang profesional dibidangnya. Sebagian dari teknik ini 
adalah program menyeluruh, sedang yang lain dirancang menuju target 
tertentu yang menjadi hambatan atau kesulitan para penyandangnya.
- Educational Treatment, meliputi tetapi tidak terbatas pada: Applied Behavior Analysis (ABA) yang prinsip-prinsipnya digunakan dalam penelitian Lovaas sehingga sering disamakan dengan Discrete Trial Training atau Intervensi Perilaku Intensif.
 - Pendekatan developmental yang dikaitkan dengan pendidikan yang dikenal sebagai Floortime.
 - TEACCH (Treatment and Education of Autistic and Related Communication – Handicapped Children).
 - Biological Treatment, meliputi tetapi tidak terbatas pada: diet, pemberian vitamin dan pemberian obat-obatan untuk mengurangi perilaku-perilaku tertentu (agresivitas, hiperaktif, melukai diri sendiri, dsb.).
 - Speech – Language Therapy (Terapi Wicara), meliputi tetapi tidak terbatas pada usaha penanganan gangguan asosiasi dan gangguan proses auditory/pendengaran.
 - Komunikasi, peningkatan kemampuan komunikasi, seperti PECS (Picture Exchange Communication System), bahasa isyarat, strategi visual menggunakan gambar dalam berkomunikasi dan pendukung-pendukung komunikasi lainnya.
 - Pelayanan Autisme Intensif, meliputi kerja team dari berbagai disiplin ilmu yang memberikan intervensi baik di rumah, sekolah maupun lngkungan sosial lainnya.
 - Terapi yang bersifat Sensoris, meliputi tetapi tidak terbatas pada Occupational Therapy (OT), dan Auditory Integration Training (AIT).
 
Dengan adanya berbagai jenis terapi yang dapat dipilih oleh orang 
tua, maka sangat penting bagi mereka untuk memilih salah satu jenis 
terapi yang dapat meningkatkan fungsionalitas anak dan mengurangi 
gangguan serta hambatan autisme. Sangat disayangkan masih minim data 
ilmiah yang mampu mendukung berbagai jenis terapi yang dapat dipilih 
orang tua di Indonesia saat ini. Fakta menyebutkan bahwa sangat sulit 
membuat suatu penelitian mengenai autisme. Sangat banyak 
variabel-variabel yang dimiliki anak, dari tingkat keparahan gangguannya
 hingga lingkungan sekitarnya dan belum lagi etika yang ada didalamnya 
untuk membuat suatu penelitian itu sungguh-sungguh terkontrol. Sangat 
tidak mungkin mengontrol semua variabel yang ada sehingga data yang 
dihasilkan dari penelitian-penelitian sebelumnya mungkin secara 
statistik tidak akurat.
Tidak ada satupun jenis terapi yang berhasil bagi semua anak. Terapi 
harus disesuaikan dengan kebutuhan anak, berdasarkan pada potensinya, 
kekurangannya dan tentu saja sesuai dengan minat anak sendiri. Terapi 
harus dilakukan secara multidisiplin ilmu, misalnya menggunakan; okupasi
 terapi, terapi wicara dan terapi perilaku sebagai basisnya. Tenaga ahli
 yang menangani anak harus mampu mengarahkan pilihan-pilihan anda 
terhadap berbagai jenis terapi yang ada saat ini. Tidak ada jaminan 
apakah terapi yang dipilih oleh orang tua maupun keluarga 
sungguh-sungguh akan berjalan efektif. Namun, tentukan salah satu jenis 
terapi dan laksanakan secara konsisten, bila tidak terlihat perubahan 
atau kemajuan yang nyata selama 3 bulan dapat melakukan perubahan 
terapi. Bimbingan dan arahan yang diberikan harus dilaksanakan oleh 
orang tua secara konsisten. Bila terlihat kemajuan yang signifikan 
selama 3 bulan maka bentuk intervensi lainnya dapat ditambahkan. Tetap 
bersikap obyektif dan tanyakan kepada para ahli bila terjadi 
perubahan-perubahan perilaku lainnya.
Prognosis
Diperkirakan terdapat 400.000 individu dengan autisme di Amerika 
Serikat. Sejak tahun 80 – an, bayi-bayi yang lahir di California – AS, 
diambil darahnya dan disimpan di pusat penelitian Autisme. Penelitian 
dilakukan oleh Terry Phillips, seorang pakar kedokteran saraf dari 
Universitas George Washington. Dari 250 contoh darah yang diambil, 
ternyata hasilnya mencengangkan; seperempat dari anak-anak tersebut 
menunjukkan gejala autis. National Information Center for Children and 
Youth with Disabilities (NICHCY) memperkirakan bahwa autisme dan PDD 
pada tahun 2000 mendekati 50 – 100 per 10.000 kelahiran. Penelitian 
Frombonne (Study Frombonne: 2003) menghasilkan prevalensi dari autisme beserta spektrumnya (Autism Spectrum Disorder/ASD) adalah: 60/10.000 – best current estimate
 dan terdapat 425.000 penyandang ASD yang berusia dibawah 18 tahun di 
Amerika Serikat. Di Inggris, data terbaru adalah: 62.6/10.000 ASD. 
Autisme secara umum telah diketahui terjadi empat kali lebih sering pada
 anak laki-laki dibandingkan yang terjadi pada anak perempuan. Hingga 
saat ini penyebabnya belum diketahui secara pasti. Saat ini para ahli 
terus mengembangkan penelitian mereka untuk mengetahui sebabnya sehingga
 mereka pun dapat menemukan ‘obat’ yang tepat untuk mengatasi fenomena 
ini. Bidang-bidang yang menjadi fokus utama dalam penelitian para ahli, 
meliputi; kerusakan secara neurologis dan ketidakseimbangan dalam otak 
yang bersifat biokimia. Dr. Ron Leaf saat melakukan seminar di Singapura
 pada tanggal 26 – 27 Maret 2004, menyebutkan beberapa faktor penyebab 
autisme, yaitu:
- Genetic susceptibility – different genes may be responsible in different families
 - Chromosome 7 – speech / language chromosome
 - Variety of problems in pregnancy at birth or even after birth
 
Meskipun para ahli dan praktisi di bidang autisme tidak selamanya 
dapat menyetujui atau bahkan sependapat dengan penyebab-penyebab di 
atas. Hal terpenting yang perlu dicatat melalui hasil 
penelitian-penelitian terdahulu adalah bahwa gangguan autisme tidak 
disebabkan oleh faktor-faktor yang bersifat psikologis, misalnya karena 
orang tua tidak menginginkan anak ketika hamil.
Bagaimana di Indonesia? Belum ditemukan data yang akurat mengenai 
keadaan yang sesungguhnya di Indonesia, namun dalam suatu wawancara di 
Koran Kompas; Dr. Melly Budhiman, seorang Psikiater Anak dan Ketua dari 
Yayasan Autisme Indonesia menyebutkan adanya peningkatan yang luar 
biasa. “Bila sepuluh tahun yang lalu jumlah penyandang autisme 
diperkirakan satu per 5.000 anak, sekarang meningkat menjadi satu per 
500 anak” (Kompas: 2000). Tahun 2000 yang lalu, Dr. Ika Widyawati; staf 
bagian Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia memperkirakan
 terdapat kurang lebih 6.900 anak penyandang autisme di Indonesia. 
Jumlah tersebut menurutnya setiap tahun terus meningkat. Hal ini sungguh
 patut diwaspadai karena jika penduduk di Indonesia saat ini mencapai 
lebih dari 160 juta, kira-kira berapa orang yang terdata sungguh-sungguh
 menyandang austime beserta spektrumnya?
Perkembangan penelitian autisme
Penelitian mengenai autisme pertama kali diprakarsai oleh seorang psikiater asal Amerika Serikat, Leo Kanner, pada tahun 1943.[10] Melalui makalah risetnya yang berjudul "Autistic Disturbances of Affective Contact", Kanner mendiagnosa sebelas orang anak yang memiliki gangguan yang sama dan mendeskripsikannya sebagai "autisme".[10] Pada masa itu, anak-anak penderita autisme dianggap sebagai anak yang bodoh dan terbelakang bukan sebagai anak yang mengalami gangguan perkembangan.[10]
 Hasil penelitian yang dilakukan Kanner ini kemudian menjadi titik tolak
 perkembangan penelitian autisme serta perubahan pandangan masyarakat 
terhadap anak-anak yang menderita autisme.
Tahun 1960 penanganan anak dengan autisme secara umum didasarkan pada model psikodinamika, menawarkan harapan akan pemulihan melalui experiential manipulations
 (Rimland, 1964). Namun model psikodinamika dianggap tidak cukup 
efektif. Pada pertengahan tahun 1960-an, terdapat sejumlah laporan 
penelitian bahwa pelaku psikodinamik tidak dapat memberikan apa yang 
mereka janjikan (Lovaas, 1987). Melalui berbagai literatur, dapat 
disebutkan beberapa ahli yang memiliki perbedaan filosofis, 
variasi-variasi treatment dan target-target khusus lainnya, seperti:
- Rimland (1964): Meneliti karakteristik orang tua yang memiliki anak dengan autisme, seperti: pekerja keras, pintar, obsesif, rutin dan detail. Ia juga meneliti penyebab autisme yang menurutnya mengarah pada faktor biologis.
 - Bettelheim (1967): Ide penyebab autisme adalah adanya penolakan dari orang tua. Infantile Autism disebabkan harapan orang tua untuk tidak memiliki anak, karena pada saat itu psikoterapi yang sangat berpengaruh, maka ia menginstitusionalkan 46 anak dengan autistime untuk keluar dari stress berat. Namun tidak dilaporkan secara detail kelanjutan dari hasil pekerjaannya tersebut.
 - Delacato (1974): Autisme disebabkan oleh Brain injured. Sebagai seorang Fisioterapi maka Delacato memberikan treatment yang bersifat sensoris. Pengaruh ini kemudian berkembang pada Doman yang dikemudian hari mengembangkan metode Gleen Doman.
 - Lovaas (1987): Mengaplikasikan teori Skinne dan menerapkan Behavior Modification kepada anak-anak berkebutuhan khusus, termasuk anak dengan autistisme di dalamnya. Ia membuat program-program intervensi bagi anak-anak berkebutuhan khusus yang dilakukannya di UCLA. Dari hasil program-program Lovaas, anak-anak dengan autisme mendapatkan program modifikasi perilaku yang kemudian berkembang secara professional dalam jurnal-jurnal psikologi.
 
Referensi / sourc
- ^ a b c (Inggris)Klin, Ami; Jones, Warren; Schultz, Robert; Fred, Volkmar; Cohen, Donald (2002). "Defining and Quantifying the Social Phenotype in Autism" (PDF). American Journal of Psychiatry 159: 895–908. Diakses tanggal 2 Juli 2013.
 - ^ (Inggris) Dear Abby: Is Autism a Mental Illness?, Psychology Today. Diakses pada 3 Juli 2013.
 - ^ Pengertian, Autisme.or.id. Diakses pada 2 Juli 2013.
 - ^ (Inggris) Diagnostic Criteria, Centers for Disease Control and Prevention. Diakses pada 2 Juli 2013.
 - ^ (Inggris)Kogan et al. (2009). "Prevalence of Parent-Reported Diagnosis of Autism Spectrum Disorder Among Children in the US, 2007" (PDF). Pediatrics Journal 124. doi:10.1542/peds.2009-1522. Diakses tanggal 2 Juli 2013.
 - ^ a b 112.000 Anak Indonesia Diperkirakan Menyandang Autisme, Republika Online. Diakses pada 2 Juli 2013.
 - ^ a b c d (Inggris) Bernier, Raphael; Gerdts, Jennifer (2006). Autism Spectrum Disorders, A Reference Handbook. Greenwood Publishing Group. ISBN 978-1-59884-334-7.
 - ^ Les causes de l’autisme, Autisme Montreal. Diakses pada 2 Juli 2013.
 - ^ a b c (Inggris) Kring, Ann et al. (2012). Abnormal Psychology. John Wiley & Sons, Inc. 978-1-118-01849-1.
 - ^ a b c (Inggris) Leo Kanner's 1943 paper on autism, Simons Foundation Autism Research Initiative. Diakses pada 2 Juli 2013.
 
 11. https://id.wikipedia.org/wiki/Autisme